Rabu, 23 November 2011

Cinta Cuma Reaksi Kimia Belaka?


ATLANTA, Manusia berpikir cinta adalah suatu rasa yang sulit dipahami. Namun, hal ini bertolak belakang dengan pendapat seorang ilmuwan yang mengatakan bahwa cinta hanyalah sebuah rangkaian peristiwa kimia.

Menurut Larry Young, profesor ilmu saraf di Emory University di Atlanta, Georgia, cinta dapat dijelaskan dengan serangkaian peristiwa neurokimia di bagian otak tertentu. Jika pendapat ini benar, maka orang tidak perlu bergantung pada cokelat atau tiram untuk membangkitkan perasaan cinta.

Bahkan, orang bisa saja menciptakan afrodisiak yang membuat seseorang jatuh cinta pada pandangan pertama atau obat penawar untuk cinta yang tak terbalas karena mencintai orang yang tidak seharusnya.

Para ilmuwan sebelumnya telah mengamati bahwa zat kimia yang disebut oksitosin terlibat dalam pengembangan ikatan antara ibu dan anak pada hewan. Prof Young berpendapat, hal yang terjadi pada hewan juga terjadi pada manusia.

"Hanya saja ketika kita mengalami emosi-emosi tersebut, kita tidak dapat membayangkan bahwa itu hanyalah serangkaian peristiwa kimiawi," katanya.

Para peneliti telah menemukan bahwa oksitosin terlibat dalam ikatan laki-laki dan perempuan, membentuk suatu ikatan yang kuat satu sama lain untuk waktu yang sangat lama. Dan ada studi pada manusia yang menunjukkan meningkatnya oksitosin dapat menciptakan kemampuan untuk membaca emosi orang lain.

Prof Young percaya, masih ada bahan kimia lain yang ikut terlibat. "Saya yakin ini baru permulaan. Ada ratusan sinyal molekul di otak dan semuanya bertindak di daerah otak yang berbeda, suatu hari kita akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana semua bahan kimia ini berinteraksi dan bertindak di daerah otak tertentu yang memiliki fungsi spesifik sehingga menimbulkan emosi-emosi yang kompleks."


Seorang antropolog asal AS, namanya Helen Fisher, menemukan bahwa cinta bisa bikin orang jadi seneng dan terpacu kreativitasnya. Kadang juga jadi agak salting, deg-degan, jadi lebih PD, dan lain sebagainya. Semua itu dikarenakan reaksi romantis yang berasal dari kerja sejumlah hormon yang diproduksi otak. Saat kontak mata berlangsung, pada saat itulah ada sebuah “kesan”. Ini dia fase pertama. Otak bekerja seperti sebuah komputer yang merekam sejumlah data dan mencocokkannya dengan data sebelumnya. Karenanya, saat itu mulailah seseorang mencari-cari sebab ketertarikannya kepada lawan jenis. PEAFase kedua, muncul hormon phenylethelamine (PEA), (gag usa dihapalin gag papa Sob, mbacanya aja susah =D). Saat ada kesan, tiba-tiba senyum pun terlontar. Hormon doparmine dan norepinephrine yang juga terdapat dalam saraf manusia ikut nimbrung. Hormon-hormon inilah yang menjadi pemicu timbulnya gelora cinta. Tapi setelah dua-tiga tahun, efektivitas hormon-hormon ini mulai berkurang. Fase ketiga, ini fase ketika cinta yang menggebu-gebu tadi mulai mereda. Yang tersisa hanyalah kasih sayang. Hormon endorphins, senyawa kimia yang identik dengan morfin, mengalir ke otak dan efek yang ditimbulkannya mirip dengan narkotika. Saat itulah, tubuh merasa damai, nyaman, tenang. Nah, ternyata daya tahan PEA itu cuma sekitar empat tahun! Teori ini disebut Fisher sebagai four years itch. Sebagaimana sebuah reaksi kimia, maka setelah itu efek PEA gag berbekas lagi. Memang sih, cinta gag semata-mata muncul karena hormon aja. Banyak faktor sosial yang mempengaruhinya. Fisher, yang juga menulis buku Anatomy of Love, menemukan bahwa kasus-kasus perceraian muncul ketika telah mencapai empat tahun masa perkawinan. Kalau pun bertahan, pasti karena faktor-faktor yang lain.

Ilmuwan lain, Profesor Nick Bostrom selaku Direktur Oxford University Future of Humanity Institute mengatakan, kita tidak harus berpikir perspektif untuk memahami secara utuh tentang apa itu cinta.

Ada ilmu evolusioner, sosiologis, fenomenologis (pendekatan filosofis dan metode penelitian kualitatif) dan perspektif humanistik yang menawarkan wawasan penting.

Jika cinta benar-benar hanyalah sebuah reaksi kimia yang kompleks, maka hal itu memiliki kemungkinan untuk memanipulasi mekanisme neurologis yang memainkan peran dalam romantisme.

"Saya rasa pada masa mendatang kita dapat mengembangkan obat yang siap masuk ke otak dan dapat menargetkan wilayah otak tertentu yang bisa melakukan hal ini," ujar Prof Bostrom.

Jika digunakan dengan bijaksana, maka farmakologi seperti itu dapat digunakan untuk terapi perkawinan atau menambah pengalaman manusia dan mengurangi penderitaan yang tidak perlu.

"Namun, manipulasi semacam ini masih bertabrakan dengan etika dan budaya, jadi harus hati-hati dalam mengeksplorasinya," imbuhnya.




Sumber : Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tanggapan codebreakers