Tampilkan postingan dengan label Kimia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kimia. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 Oktober 2012

Bakteri Ini Bisa Menghasilkan Emas 24 Karat


Bakteri itu makan racun lalu mengeluarkan "kotoran" berupa emas murni. Pencarian alkimia membidani kelahiran ilmu kimia modern, menjadi cikal bakal: bagaimana mengubah elemen biasa menjadi emas yang berharga. Melalui zat mitos yang disebut batu filosof (philosopher's stone), juga diyakini menjadi obat mujarab yang menyembuhkan penyakit dan memberi iming-iming kehidupan abadi. 

Untuk tujuan yang pertama, saat ini para peneliti mengklaim menemukan bakteri yang mendekati dengan batu filosof yang sudah lama jadi incaran. Bakteri ini mampu mengubah sebuah senyawa kimia beracun yang ditemukan di alam, menjadi sebuah material padat, solid: emas 24 karat.

Bakteri menghasilkan emas 24 karat 2

Bagaimana mendapatkan emas tidak dengan cara menambang?
Kuncinya adalah sebuah bakteri. Tim dari Michigan State University menemukan, bakteri yang toleran pada logam,Cupriavidus metallidurans, ternyata dapat tumbuh dalam konsentrasi besar klorida emas (gold chloride), yang mematikan bagi makhluk yang lain.
Lebih jauh lagi, para ilmuwan menguak, makhluk sangat kecil itu mampu mengubah zat beracun klorida emas untuk memproduksi gumpalan emas. Atau dengan kata lain, bakteri itu makan racun lalu mengeluarkan "kotoran" berupa emas murni.

"Ini adalah alkimia mikroba, mengubah emas dari sesuatu yang tidak bernilai, menjadi logam mulia padat yang berharga," kata Kazem Kashefi, assistant professor mikrobiologi dan genetika molekuler, seperti dimuat Daily Mail.
Kashefi dan Adam Brown --associate professor seni elektronik dan intermedia di universitas yang sama-- menemukan, Cupriavidus metallidurans dapat tumbuh dalam konsentrasi besar klorida emas, senyawa kimia beracun yang ditemukan di alam, yang sering juga disebut "emas cair".
Mereka juga menemukan, bakteri tersebut setidaknya 25 kali lebih kuat dari yang diduga sebelumnya.
Untuk menunjukkan bagaimana cara kerja bakteri itu, kedua ilmuwan membuat sebuah laboratorium portabel, sebuah seni instalasi,  yang diberi nama, "The Great Work of the Metal Lover" --"karya agung pemuja logam", yang merupakan kombinasi dari bioteknologi, seni, dan alkimia.

Laboratorium portabel itu disusun dari perangkat berlapis emas 24 karat, kaca bioreaktor yang berisi bakteri. Ukurannya yang relatif kecil memungkinkan ilmuwan memamerkan cara menghasilkan emas di depan banyak orang.

Bakteri menghasilkan emas 24 karat 3

Lantas, bagaimana emas bisa dihasilkan?
Brown dan Kashefi mengumpan bakteri Cupriavidus metallidurans dengan klorida emas dengan jumlah besar, meniru proses yang mereka yakini terjadi di alam. Butuh waktu selama sekitar sepekan, agar bakteri tersebut memetabolis racun dan akhirnya memproduksi bongkahan emas.

Bakteri menghasilkan emas 24 karat

Menurut Brown, instalasi "The Great Work of the Metal Lover" intinya bagaimana memanfaatkan sistem kehidupan sebagai sarana sebuah eksplorasi artistik.  "Ini adalah neo-alkimia. Setiap bagian, setiap detail proyek adalah persilangan antara mikrobiologi modern dan alkimia," kata Brown."
Sebagai seorang seniman, aku ingin menciptakan sebuah fenomena. Seni punya kemampuan untuk mendorong sebuah penyelidikan ilmiah."

Tapi, jangan terlalu bersemangat dengan temuan ini. Sama sekali ini bukan "penangkal" harga emas yang makin meroket akhir-akhir ini.
Meski kedengarannya menarik, biaya yang dibutuhkan untuk mereproduksi eksperimen mereka dalam skala yang lebih luas, luar biasa mahal. Tak hanya itu, kesuksesan menciptakan emas menimbulkan banyak pertanyaan: tentang dampak ekonomi dan sosial, etika yang berkaitan dengan ilmu dan rekayasa alam. Juga tentang akibatnya pada keserakahan manusia.
Instalasi "The Great Work of the Metal Lover" telah mendapat penghargaan dalam kompetisi, Prix Ars Electronica, di Austria. Di negeri itu, ia juga dipamerkan hingga 7 Oktober mendatang. (art)

Sumber: Daily Mail| CNET

Selasa, 21 Februari 2012

Ampas Kopi Hilangkan Bau Tak Sedap

NEW YORK, Pecinta kopi di seluruh penjuru dunia kini bisa bangga. Bukan cuma kopinya saja yang bisa memberikan manfaat, ampasnya pun bisa dipakai untuk menghilangkan bau tak sedap pada limbah. Potensi ampas kopi menghilangkan bau tak sedap terungkap pada hasil penelitian Teresa J Bandosz, ahli Kimia di City University of New York, yang dipublikasikan di The Journal of Hazardous Materials bulan ini. Peneliti menemukan bahwa ampas kopi yang diubah menjadi karbon teraktivasi mampu menyerap sulfur penyebab bau tak sedap pada limbah dengan sangat baik. Karbon teraktivasi dibuat dengan mencampur ampas kopi dengan air dan unsur Seng, lalu mengeringkannya di oven. Kemampuan penyerapan sulfur yang baik disebabkan oleh adanya senyawa kafein dalam kopi. Seperti diuraikan di New York Times, Selasa (21/2/2012), Kafein memiliki atom nitrogen yang meningkatkan kemampuan karbon untuk menyerap sulfur. Bandosz berharap pengusaha mau melakukan riset lebih lanjut dan diaplikasikan pada bisnis. Ia mengatakan, semakin fresh ampas kopi yang digunakan, semakin baik pula hasilnya. Sebabnya, ampas kopi yang fresh masih memiliki kafein dalam jumlah cukup besar. Sumber :New York Times

Sabtu, 14 Januari 2012

Ilmuwan Deteksi Molekul Pendingin Bumi


Masih perlu diteliti apakah bisa membantu mengatasi masalah pemanasan global.



Para ilmuwan di Inggris dan AS mengklaim telah mendeteksi molekul baru di atmosfer. Molekul itu bisa membantu menghasilkan efek dingin di muka bumi. Namun, masih perlu diteliti apakah molekul ini bisa membantu mengatasi masalah pemanasan global.

Seperti dilaporkan kantor berita Reuters, molekul yang dideteksi ini bisa mengubah polutan, seperti nitrogen dioksida dan sulfur dioksida, menjadi senyawa yang dapat menyebabkan pembentukan awan, membantu untuk melindungi bumi dari matahari.

Selama abad yang lalu, suhu rata-rata bumi telah naik 0,8 derajat celcius. Para ilmuwan mengatakan pada abad ini peningkatan suhu itu harus dibatasi hingga di bawah dua derajat celcius untuk mencegah naiknya permukaan air laut dan dampak lain yang tidak diinginkan.

Tapi mainstrim utama cara membatasi pemanasan, seperti penggunaan energi yang terbarukan dan efisiensi energi, tidak membuahkan hasil dengan cepat.

Dalam sebuah makalah yang diterbitkan jurnal Science pada hari Kamis, peneliti dari Universitas Manchester dan Bristol, serta AS --yang berbasis di Sandia National Laboratories -  mendeteksi molekul baru yang disebut biradikals Criegee. Penemuan ini setelah para ilmuwan menggunakan sumber cahaya yang kuatnya 100 juta kali lebih kuat dari matahari.

"Kami menemukan biradikal yang bisa mengoksidasi sulfur dioksida, yang akhirnya berubah menjadi asam sulfat, yang dikenal memiliki efek pendinginan," kata salah satu penulis penelitian dalam kimia atmosfer di Universitas Manchester, Carl Percival sebagaimana dikutip Reuters.

Namun, masih terlalu dini untuk memprediksi berapa banyak molekul harus dibentuk untuk membuat dampak yang besar pada suhu dunia dan keamanan mereka harus diuji. Pemahaman efek pembentukan awan terhadap iklim juga belum diketahui.

Pendinginan

Saat meletus pada 1991, Gunung Pinatubo di Filipina melepaskan sejumlah besar sulfur dioksida yang membentuk kabut asam sulfat. Hal ini mengurangi jumlah sinar matahari ke bumi hingga mencapai sekitar 10 persen. Sehingga menurunkan suhu global sekitar 0,5 derajat celcius selama dua tahun.

Namun, konsentrasi sulfur dioksida yang tinggi di atmosfer akibat letusan itu juga dapat menyebabkan penyakit paru-paru, hujan asam, dan penipisan lapisan ozon pelindung bumi.

"Biradikal tidak bagus untuk memperbaiki bumi," kata Percival, mengacu pada cara-cara radikal menurunkan suhu planet, seperti letusan gunung berapi atau pemutihan awan untuk memantulkan sinar matahari yang lebih banyak.

Molekul-molekul terdeteksi oleh tim peneliti ini terjadi secara alami karena adanya alkena, senyawa kimia yang sebagian besar dilepaskan oleh tanaman.

"Tanaman akan melepas senyawa ini, membuat biradikal dan akhirnya membentuk asam sulfat, sehingga efeknya pada ekosistem dapan menghilangkan efek pemanasan dengan memproduksi aerosol pendinginan," kata Percival.

Efek pendinginan terbesar bisa dirasakan pada atmosfer yang mengandung banyak alkena dan polutan, yang memungkinkan reaksi biradikal.

"Efeknya benar-benar akan dirasakan di sejumlah titik, seperti Hong Kong atau Singapura," kata Percival. 

Kamis, 29 Desember 2011

Peta Molekuler Bumbu Masak



Peta ini membantu para koki di dunia menyusun makanan dan menemukan resep baru.

Petualang kuliner pasti menyadari bahwa hidangan Asia berbeda dengan masakan asal Eropa Barat dan Amerika Utara. Bagaimana perbedaan rasa ini bisa terjadi? jawaban atas perta nyaan itu diberikan oleh sekelompok ahli dari University of Cambridge, Inggris. Bersama rekan peneliti lainnya, Sebastian E. Ahnert membuat jaringan bumbu yang memetakan komponen rasa berdasarkan analisis molekuler pada 10 ribu bumbu makanan dari berbagai kawasan di dunia.

Ahnert, yang mendaulat dirinya sebagai amatiran gastronomi molekuler, tertarik pada anekdot di dunia Barat, bahwa makanan enak bisa didapatkan dengan mencampurkan bumbu bercitarasa sama. Dari anekdot ini, mereka menyusun jaringan bumbu, yang kemudian dikelompokkan menjadi resep masakan Amerika Utara, Eropa Barat, Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Asia Timur.

Peta bumbu membimbing peneliti pada horizon baru dalam dunia kuliner. Resep masakan Amerika Utara dan Eropa Barat ternyata sejalan dengan anekdot yang disebutkan sebelumnya. Sebagai perbandingan, hidangan udang scampi panggang saus tomat berbagi molekul 1-penten-3-ol pada dua bahan utama, yaitu udang dan tomat. Sedangkan bumbu seperti mozzarella, parmesan, dan tomat mengandung asam 4-metilpentanoik.

Pada hidangan Amerika Utara, bumbu cenderung monoton. Bumbu yang dicampurkan umumnya hanya berputar pada susu, mentega, cokelat, vanili, krim, dan telur. Begitu bahan-bahan ini dikeluarkan dari peta bumbu, kesamaan rasa menghilang. Namun hidangan Asia Timur dan Eropa Selatan melawan anekdot sebelumnya. Bahan dan bumbu dua kawasan ini cenderung memiliki rasa yang beragam. Dalam penelitian kuliner, pencampuran berbagai rasa ini disebut sebagai penyandingan rasa (food pairing), yakni seluruh bumbu dengan molekul berbeda dicampurkan ke dalam satu ramuan rasa. Ketika peneliti menendang bahan dan bumbu utama dari masakan Asia Timur, seperti daging sapi, jahe, daging babi, cabai merah, ayam, dan bawang, kesamaan molekuler malah bertambah.

Ahnert menyitir pendapat para ahli kuliner dan chef di seluruh dunia yang mengatakan bahwa kesamaan rasa pada sebuah hidangan terasa lebih enak. Pendapat ini berarti masakan yang sedap lebih banyak berasal dari Eropa Barat dan Amerika Utara.“Masakan Asia, yang menganut penyandingan rasa, menjadi unik sehingga harus dipelajari lebih jauh,“ujarnya. Ahli makanan dari University of Sao Paulo, Brasil, yang bertahuntahun meneliti rahasia di balik hidangan lezat, memuji temuan baru ini.“Peta ini menawarkan cara baru yang lebih praktis menyusun makanan, yaitu berdasarkan kesamaan molekuler,“ucapnya.

Peta jaringan bumbu yang dibuat Ahnert nantinya akan membantu peracik rasa menemukan resep baru berdasarkan penyandingan makanan. Sebagai contoh, beberapa chef bereksperimen menyandingkan cokelat putih dengan kaviar (telur ikan) karena mengandung molekul kimia yang sama, seperti trimetilamin dan beberapa molekul lainnya.

Demikian pula cokelat dan keju biru yang saling berbagi 73 rasa yang sama sehingga bisa menghasilkan resep makanan yang enak. Selain itu, temuan ini menunjukkan bagaimana analisis jaringan dengan menambang data sebagaimana yang terjadi pada ilmu biologi dan ilmu sosial juga bisa dilakukan pada ilmu makanan.

Tim peneliti dari Universitas Cambridge akan memperdalam dan memperluas peta jaringan bumbu ini sambil mencari resep-resep baru. Mereka akan kembali ke laboratorium yang kini tak ubahnya seperti dapur dan mencampurkan berbagai bumbu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.“Kami mulai berpikir mencampurkan cappuccino dengan bawang putih,“ujar Ahnert.

NATURE

Rabu, 23 November 2011

Cinta Cuma Reaksi Kimia Belaka?


ATLANTA, Manusia berpikir cinta adalah suatu rasa yang sulit dipahami. Namun, hal ini bertolak belakang dengan pendapat seorang ilmuwan yang mengatakan bahwa cinta hanyalah sebuah rangkaian peristiwa kimia.

Menurut Larry Young, profesor ilmu saraf di Emory University di Atlanta, Georgia, cinta dapat dijelaskan dengan serangkaian peristiwa neurokimia di bagian otak tertentu. Jika pendapat ini benar, maka orang tidak perlu bergantung pada cokelat atau tiram untuk membangkitkan perasaan cinta.

Bahkan, orang bisa saja menciptakan afrodisiak yang membuat seseorang jatuh cinta pada pandangan pertama atau obat penawar untuk cinta yang tak terbalas karena mencintai orang yang tidak seharusnya.

Para ilmuwan sebelumnya telah mengamati bahwa zat kimia yang disebut oksitosin terlibat dalam pengembangan ikatan antara ibu dan anak pada hewan. Prof Young berpendapat, hal yang terjadi pada hewan juga terjadi pada manusia.

"Hanya saja ketika kita mengalami emosi-emosi tersebut, kita tidak dapat membayangkan bahwa itu hanyalah serangkaian peristiwa kimiawi," katanya.

Para peneliti telah menemukan bahwa oksitosin terlibat dalam ikatan laki-laki dan perempuan, membentuk suatu ikatan yang kuat satu sama lain untuk waktu yang sangat lama. Dan ada studi pada manusia yang menunjukkan meningkatnya oksitosin dapat menciptakan kemampuan untuk membaca emosi orang lain.

Prof Young percaya, masih ada bahan kimia lain yang ikut terlibat. "Saya yakin ini baru permulaan. Ada ratusan sinyal molekul di otak dan semuanya bertindak di daerah otak yang berbeda, suatu hari kita akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana semua bahan kimia ini berinteraksi dan bertindak di daerah otak tertentu yang memiliki fungsi spesifik sehingga menimbulkan emosi-emosi yang kompleks."


Seorang antropolog asal AS, namanya Helen Fisher, menemukan bahwa cinta bisa bikin orang jadi seneng dan terpacu kreativitasnya. Kadang juga jadi agak salting, deg-degan, jadi lebih PD, dan lain sebagainya. Semua itu dikarenakan reaksi romantis yang berasal dari kerja sejumlah hormon yang diproduksi otak. Saat kontak mata berlangsung, pada saat itulah ada sebuah “kesan”. Ini dia fase pertama. Otak bekerja seperti sebuah komputer yang merekam sejumlah data dan mencocokkannya dengan data sebelumnya. Karenanya, saat itu mulailah seseorang mencari-cari sebab ketertarikannya kepada lawan jenis. PEAFase kedua, muncul hormon phenylethelamine (PEA), (gag usa dihapalin gag papa Sob, mbacanya aja susah =D). Saat ada kesan, tiba-tiba senyum pun terlontar. Hormon doparmine dan norepinephrine yang juga terdapat dalam saraf manusia ikut nimbrung. Hormon-hormon inilah yang menjadi pemicu timbulnya gelora cinta. Tapi setelah dua-tiga tahun, efektivitas hormon-hormon ini mulai berkurang. Fase ketiga, ini fase ketika cinta yang menggebu-gebu tadi mulai mereda. Yang tersisa hanyalah kasih sayang. Hormon endorphins, senyawa kimia yang identik dengan morfin, mengalir ke otak dan efek yang ditimbulkannya mirip dengan narkotika. Saat itulah, tubuh merasa damai, nyaman, tenang. Nah, ternyata daya tahan PEA itu cuma sekitar empat tahun! Teori ini disebut Fisher sebagai four years itch. Sebagaimana sebuah reaksi kimia, maka setelah itu efek PEA gag berbekas lagi. Memang sih, cinta gag semata-mata muncul karena hormon aja. Banyak faktor sosial yang mempengaruhinya. Fisher, yang juga menulis buku Anatomy of Love, menemukan bahwa kasus-kasus perceraian muncul ketika telah mencapai empat tahun masa perkawinan. Kalau pun bertahan, pasti karena faktor-faktor yang lain.

Ilmuwan lain, Profesor Nick Bostrom selaku Direktur Oxford University Future of Humanity Institute mengatakan, kita tidak harus berpikir perspektif untuk memahami secara utuh tentang apa itu cinta.

Ada ilmu evolusioner, sosiologis, fenomenologis (pendekatan filosofis dan metode penelitian kualitatif) dan perspektif humanistik yang menawarkan wawasan penting.

Jika cinta benar-benar hanyalah sebuah reaksi kimia yang kompleks, maka hal itu memiliki kemungkinan untuk memanipulasi mekanisme neurologis yang memainkan peran dalam romantisme.

"Saya rasa pada masa mendatang kita dapat mengembangkan obat yang siap masuk ke otak dan dapat menargetkan wilayah otak tertentu yang bisa melakukan hal ini," ujar Prof Bostrom.

Jika digunakan dengan bijaksana, maka farmakologi seperti itu dapat digunakan untuk terapi perkawinan atau menambah pengalaman manusia dan mengurangi penderitaan yang tidak perlu.

"Namun, manipulasi semacam ini masih bertabrakan dengan etika dan budaya, jadi harus hati-hati dalam mengeksplorasinya," imbuhnya.




Sumber : Kompas

Jumat, 11 November 2011

Mengapa Skandium Trifluorida Melawan Hukum Fisika


 

Pelajaran fisika mengajarkan bahwa benda akan memuai jika dipanaskan. Namun prinsip ini tidak berlaku pada material bernama skandium trifluorida (ScF3). Sifat unik material berbentuk bubuk ini terungkap pada 2010. Skandium trifluorida, yang mempunyai struktur kristal sederhana, justru menyusut ketika diberi panas.

 Chen Li, insinyur dari California Institute of Technology, menyelidiki bagaimana penyusutan bisa terjadi. Menggunakan peralatan milik Oak Ridge National Laboratory, ia menabrakkan neutron dengan sampel bubuk ini. Dengan mengetahui arah belok dan kecepatan neutron setelah bertumbukan dengan materi, perangai materi ini bisa diketahui. Hasil percobaan memberi gambaran jelas. Atom fluor yang lebih ringan diapit atom skandium lewat ikatan yang mirip pegas. Ketika suhu dinaikkan, seluruh atom bergoyang. Efek unik terjadi ketika atom fluor hanya bergerak pada satu arah yang tegak lurus ikatan pegas. Akibatnya, setiap kali atom fluor bergerak, dua atom skandium akan tertarik mendekat. Secara keseluruhan, kristal skandium trifluorida terlihat menyusut.



Lebih mengejutkan lagi, energi yang bisa disimpan selama atom bergetar mencapai empat kali lipat atau biasa disebut osilasi kuartik. Hal ini berbeda dengan kebanyakan materi, yang umumnya hanya menyimpan dua kali energi atau disebut osilasi kuadratik. “Sifat osilasi kuartik murni ini tak pernah ditemukan sebelumnya pada kristal,” ujar profesor ilmu bahan dan fisika terapan California Institute of Technology, Brent Fultz, yang ikut dalam penelitian ini. Penyimpanan energi yang unik ini memberi harapan baru bagi pengembangan material baru. Salah satunya adalah bahan komponen jam yang detail. Perubahan bentuk akibat suhu dalam skala kecil bisa mengganggu bentuk roda gigi penggerak dan merusak kinerja jam. Material skandium trifluorida bisa bisa diselipkan untuk mengkompensasi pemuaian benda komponen jam pada umumnya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tanggapan codebreakers