Sabtu, 14 Januari 2012

Simbolisme


Filsuf Yahudi-Jerman Ernst Cassirer (1874– 1945) dalam bukunya An Essay on Man pernah menulis bahwa manusia adalah makhluk simbol.

Ernst Cassirer


 Termasuk dalam simbol-simbol yang menyebabkan manusia lebih dari hewan lain adalah mitologi, agama,bahasa, seni dan ilmu pengetahuan. Sebelumnya, antara tahun 1930 hingga 1932,suami-istri psikolog Leilla dan Wintrop Kellog pernah mengadakan eksperimen dengan mengadopsi seekor kera simpanse bernama Gua dan dirawat seperti merawat anaknya sendiri yang bernama Donald. Gua dan Donald berusia sama, tumbuh bersama,main bersama, dan berbusana sama. Awalnya Gua tampak lebih pandai dari Donald, tetapi pada umur 13 bulan Donald mulai bisa bicara, sedangkan sampai umur18 bulan Gua belum bisa bicara. 


Akhirnya Gua dikembalikan ke PAS (Panti Asuhan Simpanse) dan meninggal pada umur 3 tahun (karena stres berpisah dari Donald). Kembali kepada Cassirer. Menurut dia,manusia menciptakan simbol-simbol untuk menjelaskan berbagai gejala alam. Mengapa ada hujanpetir, ombak di laut,gempa bumi, dan hama wereng? Mitologi menjelaskan semuanya: Dewa Hujan,Dewa Laut,Dewa Bumi, Dewi Kesuburan, dsb.Adalah dewa-dewi yang mengatur alam, karena itu doa, sesajen, dan persembahan dihaturkan kepada para dewa. Bahkan persembahan itu bisa berupa korban manusia.

simbol hieroglyph
Maksudnya agar dewa-dewi itu berbaik hati dan tidak mengganggu manusia dengan bencana alam dan paceklik. Tapi setelah manusia makin maju cara berpikirnya,mereka mulai percaya pada satu Tuhan (monoteisme) dengan aneka warna namanya sendiri. Islam, misalnya,punya 99 Asma Allah walaupun Tuhannya satu. Seiring dengan itu, bahasa sebagai simbol yang menyebabkan manusia bisa saling berkomunikasi tumbuh dan berkembang terus sesuai dengan kondisi lokal masing-masing.

Dalam bahasa Inggris, misalnya, hanya dikenal beberapa kata tentang nasi (rice, paddy), sebaliknya dalam bahasa Indonesia, yang berbudaya nasi, dikenal puluhan istilah yang terkait dengan nasi (beras, padi, nasi, ketan, lemang, ketupat, lontong ,sawah,kerak telur,dan silakan Anda menambah sendiri sebanyak-banyaknya). Sebaliknya, orang Eskimo punya banyak istilah tentang salju (yang kecil,yang besar,yang sudah di tanah, yang jatuh dari langit, dsb). Setelah bahasa lahirlah seni (seni rupa, seni sastra,seni musik, dsb) berikut simbol-simbolnya (misalnya not balok untuk musik) dan tentu saja ilmu pengetahuan.

Dibandingkan dengan agama, apalagi mitologi, seni dan ilmu pengetahuan jauh lebih progresif dan dinamis. Seni dan ilmu memberi peluang yang sangat besar untuk manusia berkreasi dan mencari alternatif-alternatif baru. Seperti musik rock, reggae, hip-hop, dsb atau teori Newton, Einstein, dan Capra dalam fisika. Dalam seni dan ilmu orang tidak marah kalau kawannya berganti aliran atau mengembangkan gagasan baru, malah dia akan berusaha lebih keras agar aliran seni atau teori ilmunya sendiri berkembang.

Lain halnya dengan agama dan mitologi. Simbol-simbol ini paling susah untuk berubah. Apakah Tuhan itu satu atau lebih dari satu, masih berkembang debatnya sampai hari ini. Bahkan mereka hanya mau berteman dengan orang-orang yang sepaham dan sealiran. Di luar itu adalah musuh, halal darahnya dan sebagainya.

Lambang-lambang matematika dikonversikan ke rumus-rumus fisika dan dari ilmu fisika berkembang teknologi. Maka orang bisa membuat pesawat terbang, kereta api, dan mobil Esemka. Itu adalah karena keterbukaan ilmu terhadap perubahan. Memang menerima perubahan tidak mudah.Petinggipetinggi gereja yang selama berabad-abad menerima pandangan bahwa matahari mengelilingi bumi butuh waktu 300 tahun untuk menerima pandangan Nicolaus Copernicus dan Gallileo Gallilei bahwa bumilah yang sebenarnya mengitari matahari (heliocentrism).

Demikian pula anggota-anggota polisi yang hampir satu generasi mempraktikkan budaya tentara tidak begitu saja bisa mengubah perilakunya walaupun dengan perintah komandan.Seorang komandan polisi Sabhara menceritakan pengalamannya kepada saya sewaktu dia ditugasi mengamankan huru-hara anarkistis. Sebelum bertugas, begitu turun dari truk, pasukan dibariskan dan diberi perintah dalam keadaan apa pun untuk tidak memukul.

Tapi belum sampai lima menit, salah satu anggota mulai memukul yang diikuti anggota lain dan terjadilah tawuran antara petugas dan pengunjuk rasa. Makin sulit persoalannya kalau sudah menyangkut simbol- simbol agama.Tampaknya kalau sudah tentang agama tidak ada ruang lagi untuk berkomunikasi. Walaupun demikian, kita lihat di Malaysia, pemerintah dan umat Islam bisa hidup bersama dalam damai dengan golongan dan agama lain. Intinya masing-masing memberi ruang untuk mengekspresikan kepercayaan dan simbol-simbol agamanya di tempat masing-masing tanpa saling mengganggu.

Si supermarket minuman keras dan makanan nonhalal disediakan tempat khusus dengan diberi tanda “nonhalal”. Restoran-restoran nonhalal berdampingan dengan restoran muslim. Masing-masing diberi tanda khusus. Saya pernah salah masuk ke restoran nonhalal, lalu diberi tahu oleh pemiliknya dan saya pun balik kanan-jalan, cari restoran lain. Bukankah cara ini lebih nyaman, aman, dan damai ketimbang membunuhi kaum Ahmadiyah (Cikeusik), mengusir penganut Syiah (Sampang), dan merusak-rusak perabotan Kantor Kemendagri gara-gara peraturan minuman keras? 


SARLITO WIRAWAN SARWONO 
Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia


 (koran Sindo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tanggapan codebreakers