Sabtu, 14 Januari 2012

Emile Durkheim: Memetakan Bunuh Diri


“There is but one truly serious philosophical problem, and that is suicide. Judging whether life is or is not worth living amounts to answering the fundamental question of philosophy.”

Bapak Emile Durkheim (1858-1917), pelopor ilmu sosiologi asal Prancis, boleh dibilang seorang pemikir yang komplet. Sepanjang hidupnya ia menulis karya-karya berpengaruh terkait kehidupan bermasyarakat: mulai dari perkara religiusitas, perburuhan, hingga teknik penelitian sosial, semua tak lepas dari pengaruhnya.[1]
Adapun di Indonesia, nama Durkheim paling terkenal lewat pelajaran sosiologi SMA. Dalam buku pelajaran biasanya nama beliau disebut bersamaan dengan pelopor ilmu sosiologi sezamannya: Auguste Comte dan Max Weber
Emile Durkheim
Emile Durkheim (1858-1917)
(courtesy of Wikipedia)
Meskipun begitu, dalam tulisan kali ini, kita tidak akan membahas Durkheim sebagaimana umum dijumpai di buku sekolah. Yang akan dibicarakan di sini adalah gagasan Durkheim yang agak lebih ‘gelap’ dan serius, yaitu “bunuh diri sebagai gejala sosial”.
Mengapa Durkheim tertarik membahas tentang bunuh diri, nah, ini ada ceritanya lagi.
Sebagai seorang sosiolog, Durkheim menilai bahwa peristiwa bunuh diri tidak terjadi hanya dipicu kondisi mental. Barangkali benar bahwa orang tertentu punya kecenderungan bunuh diri lebih kuat daripada orang lain. Akan tetapi, Durkheim menambahkan: bahwasanya terdapat variabel eksternal yang berpotensi memicu orang bunuh diri. Entah itu berupa tuntutan sosial, perubahan zaman, atau lain sebagainya. Hal ini disebutnya sebagai “faktor kosmis” pemicu bunuh diri.[2]
Nah, premis di atas kemudian menjadi tulang punggung karya beliau yang berjudul Suicide: A Study in Sociology. Dalam buku tersebut Durkheim menelusuri ada apa di balik kejadian bunuh diri, dan — yang tak kalah pentingnya — mengapa orang terpicu melakukannya? 

Menelusuri Bunuh Diri: Empat Skenario Durkheim
 
Sebagai seorang sosiolog, Durkheim meletakkan faktor sosial sebagai elemen penting pendorong orang bunuh diri. Oleh karena itu ia menarik kesimpulan: apabila orang melakukan bunuh diri, maka pemicunya takkan jauh dari faktor komunitas dan stabilitas sosial.
Secara sederhana dapat digambarkan idenya sebagai berikut:
chart tipe bunuh diri (emile durkheim)
Empat tipe bunuh diri menurut Durkheim

Skenario Bunuh Diri I — Bunuh Diri Egoistis
 
Skenario pertama menurut Durkheim adalah bunuh diri egoistis. Dalam hal ini orang melakukan bunuh diri karena ia merasa terpisah dari masyarakat. Orang macam ini menjalani hidupnya cenderung menyendiri, sebab memang dia tidak punya ikatan yang kuat ke masyarakat. Ibaratnya seperti layang-layang putus: dia hidup dengan mengacu cuma dirinya sendiri (“ego-is”)
Orang yang detached dari masyarakat ini cenderung bertindak soliter. Akan tetapi sebenarnya, itu mengingkari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Perlahan-lahan ia akan mengalami tekanan batin — hal yang, sebagaimana bisa ditebak, bisa berujung ke bunuh diri.
Dalam hal ini Durkheim menyorot bunuh diri sebagai sarana pelarian. Orang yang tercerabut dari masyarakat mengabaikan kecenderungan sebagai makhluk sosial, maka dia menderita. Akan tetapi ia tidak punya alasan untuk tinggal di dunia — dirasanya tidak ada orang yang akan sedih atau kecewa jika dia meninggal. Oleh karena itu orang jenis ini mudah terdorong mengakhiri hidupnya sendiri. 

Skenario Bunuh Diri II — Bunuh Diri Altruistik
 
Berbeda dengan sebelumnya, yang satu ini terjadi karena rasa sosial yang kuat, dan umumnya berkonotasi positif. Orang yang melakukan bunuh diri altruistik dianggap telah berkorban untuk kepentingan orang lain. Sedemikian hingga pengorbanannya jadi nilai plus tersendiri.
Contoh yang bagus di sini adalah orangtua yang mengorbankan diri untuk keselamatan anak. Namanya orang tua, sudah pasti tidak ingin anaknya terluka. Katakanlah misalnya sang anak hendak tertabrak mobil, maka orangtua akan mendorong anak supaya menjauh. Akan tetapi justru ini mengakibatkan orangtua tertabrak dan meninggal — secara teknis orangtua telah bunuh diri, akan tetapi, bunuh diri di sini dipandang sebagai suatu kemuliaan.
Seorang yang melakukan bunuh diri altruistik adalah orang yang bunuh diri untuk kepentingan orang lain atau masyarakat. Dalam kasus ekstrem misalnya pilot Kamikaze atau aktivis bom bunuh diri. Biarpun tahu akan tewas, mereka percaya pengorbanannya tidak sia-sia — dan masyarakat yang dibela pun menghormati. Pada akhirnya bunuh diri di sini jadi bersifat utilitarian dan pragmatis.

Skenario Bunuh Diri III — Bunuh Diri Anomik
 
Manusia adalah makhluk yang menginginkan kontrol. Orang pada umumnya gentar menjalani hidup yang tidak pasti. Oleh karena itu, diusahakan agar hidup dapat dikontrol untuk memenuhi kebutuhannya.
Sebagai contoh, orang bekerja untuk mendapatkan keamanan finansial (= kontrol keuangan). Sama halnya dengan orang membangun rumah untuk mengamankan dari marabahaya — umpamanya perampok atau hewan liar (= kontrol keselamatan diri).
Problemnya adalah ketika kontrol yang biasa dimiliki itu tiba-tiba hilang. Dalam sekejap rasa aman yang sudah dibangun hancur berantakan. Di sini akan timbul sebuah gejala psikologis yang disebut anomi — rasa gentar di manaorang takut tidak mampu mengatur jalan kehidupannya. Tanpa kemampuan regulasi orang merasa tidak berdaya. Di sinilah kecenderungan untuk bunuh diri itu mengintai.
Anomi terjadi manakala orang tak siap menghadapi perubahan sosial. Sebagai contoh orang yang mengalami post-power syndrome. Dia yang sebelumnya berpangkat mendadak tak punya orang untuk disuruh. Pada akhirnya dia terjangkit stres.[3]
Begitu pula dengan veteran perang yang mengalami PTSD, atau orang kaya yang mendadak jatuh miskin. Pada dasarnya orang yang tak siap menerima perubahan berpotensi terkena anomi. Dan dari situ, jadi cenderung terdorong untuk mengakhiri hidup. (cf: bunuh diri egoistis di skenario I)

Skenario Bunuh Diri IV — Bunuh Diri Fatalistik
 
Yang terakhir adalah skenario bunuh diri keempat, yakni bunuh diri fatalistik. Durkheim menyebut bunuh diri fatalistik ini sebagai kebalikan bunuh diri anomik — dalam artian, hidup orang dikacaukan regulasi eksternal yang ketat.
Orang yang melakukan bunuh diri fatalistik pada umumnya adalah orang yang merasa kalah dalam hidup. Setiap kali dia berusaha, selalu gagal. Cita-citanya untuk maju selalu terhambat; ke mana pun dia pergi selalu dihantui nasib buruk. Singkat cerita orang ini merasa bahwa dunia selalu kejam padanya. Sebab memang menurutnya semua yang dialami buruk-buruk terus.
Dalam hal ini orang tersebut telah mengambil posisi fatalistik. Ia tidak lagi hendak berusaha, melainkan menyerahkan saja apa yang akan terjadi nanti. Dia memiliki ekspektasi buruk pada dunia. Oleh karena itu orang jenis ini jadi terdorong untuk pergi saja — dengan kata lain, mengakhiri hidup di dunia yang kejam.
Ada banyak contoh orang yang melakukan bunuh diri fatalistik. Barangkali kalau boleh dibilang, hampir semua orang bunuh diri yang masuk berita melakukan bunuh diri jenis ini. Menyerah pada himpitan ekonomi; menyerah karena tak kunjung tamat kuliah; atau lain sebagainya. Kasar-kasarnya: orang yang sudah menyerah dalam hidup jadi terdorong untuk bunuh diri; dia ingin secepat mungkin mengakhiri penderitaannya. 
***
Singkat cerita, demikianlah Durkheim merumuskan empat tipe bunuh diri ditinjau secara sosial. Menurut Durkheim orang bunuh diri tidak melulu dipengaruhi bawaan psikologisnya — melainkan juga oleh faktor sosial.
Hanya dengan mengamati dinamika sosial di sekelilingnya, maka kita dapat memahami rasa frustrasi orang yang hendak mengakhiri hidup. Demikian kira-kira kesimpulan tersirat Durkheim. 

Penutup: Bunuh Diri dan Lingkungan Sosial
 
Sebagaimana telah kita lihat bersama, pada dasarnya gagasan Durkheim akan bunuh diri cukup simpel: bunuh diri itu diakibatkan oleh tekanan batin akibat situasi sosial. Dua hal yang krusial mempengaruhinya yakni faktor komunitas dan stabilitas.
Seorang yang memiliki ikatan baik ke masyarakat akan jauh dari kemungkinan bunuh diri. Adapun di sisi lain, bunuh diri itu juga bisa dipicu oleh perubahan landscape sosial. Ketika orang tidak siap menghadapi perubahan sosial, maka di situlah stres menyergap. Pada akhirnya itu berpotensi mendorong orang melakukan bunuh diri. 
Barangkali, kalau saya boleh menafsirkan seenaknya, sebenarnya Durkheim hendak menyampaikan satu hal: bunuh diri itu adalah gejala sosial, oleh karena itu, pemecahannya juga harus bersifat sosial. Orang tidak mengentaskan dirinya dari depresi atau anomi dengan seorang diri. Problem itu harus diselesaikan secara sosial: melalui interaksi dengan masyarakat, maka orang terhindar dari suatu rasa frustrasi dan alienasi.[4]
Adapun bunuh diri itu sendiri akhirnya tereduksi jadi pergulatan antara pribadi melawan persepsinya akan dunia. Apakah dunia ini layak dijalani? Atau lebih baik kalau ditinggalkan saja? Kenyataannya tidak ada jawaban mutlak untuk itu. Yang ada hanyalah seberapa penting dunia dan lingkungan sosial itu berarti di mata orang. 

Jadi, singkat cerita…
Selamat akhir pekan Kisanak. Sudahkah Anda merenungi hidup dan kualitas hubungan sosial hari ini? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tanggapan codebreakers