Rabu, 16 Oktober 2013

Sisa Nafas Patrimonialisme Indonesia di Era Pasca-Soeharto


Patrimonialisme merupakan sebuah sistem bentukan hubungan dari sang “patron” atau induk dengan “client” atau anak buahnya. Dalam patrimonialisme sang patron bertindak protektif kepada sang client dengan harapan sang client nantinya dapat menjaga kekuasaan atau hegemon sang “patron” yang telah memberikan dukungan pada si “client.” Sehingga, menurut Crouch (1979), kekuasaan sang pemimpin sangat tergantung oleh bagaimana kapasitasnya untuk memenangkan dan mempertahankan loyalitas dari para bawahannya yang berbentuk elit politik.
Patrimonialisme merupakan sebuah bentuk model sistem budaya politik yang telah mengakar di Indonesia sejak era kerajaan pada abad keempat masehi hingga era reformasi (perpolitikan modern). Pemusatan kekuasaan atau sentralisasi kekuasaan merupakan aspek terpenting dari hidupnya sistem patrimonialisme, sehingga peran satu orang yang sangat berkuasa (otokratis) memiliki andil yang besar terhadap keberlangsungan nafas sistem sosial ini. Pada abad ke empat setelah masehi, para pedagang, negarawan, maupun para misionaris yang berasal dari negara-negara Hindu seperti India melakukan ekspansi kebudayaannya menuju Indonesia. Sehingga, pada zaman tersebut kebudayaan di Indonesia yang sebelumnya memiliki keyakinan atas animisme dan dinamisme saja mengalami peleburan atau asimilasi kebudayaan yang akhirnya melahirkan sebuah kepercayaan atas adanya dewa-dewa, politheisme.
Kepercayaan tersebut tak hanya berdampak pada aspek religiusitas semata bagi masyarakat maupun kerajaan yang ada, tetapi juga pada aspek sosial dan politik pemerintahan. Dalam masyarakat tradisional, menurut Gabriel Almond, masih belum ditemukan adanya bentuk sekularisasi kultural maupun diferensiasi struktural. Dalam konteks sekularisasi kultural, dalam masyarakat tradisional masih ada batasan yang jelas atas sang pemimpin dan yang dipimpin. Di dalamnya berkembang adanya mistifikasi-mistifikasi atas sang pemimpin dengan melibatkan bentuk kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat yang luas. Sang pemimpin atau raja merupakan keturunan langsung dari dewa dan maraknya cerita mistis yang mengagung-agungkan kekuatan sang pemimpin dengan berbagai macam mitos dan kemampuan. Sehingga hal tersebut tentu memberikan batas kepada masyarakat biasa bahwa mereka ditakdirkan sebagai yang dipimpin. Sehingga dalam hal ini, peran sang raja merupakan aspek yang sangat penting bagi keberlangsungan sebuah pemerintahan. Hal tersebut ditambah lagi dengan belum terciptanya diferensiasi struktural, dimana dalam konsep tersebut dikenal adanya spesialisasi sistem bagi sang pemimpin. Dimana sekarang dikenal adanya kelembagaan yang fokus dalam kajiannya masing-masing, tetapi pada zaman kerajaan semua pekerjaan dibebankan kepada sang raja. Tentunya hal tersebut mendukung atas hadirnya konsep patrimonialisme yang terpusat pada satu pemimpin semata.
Dalam perkembangannya hingga mencapai dunia modern, tentunya modernisasi atas segala aspek kehidupan kian hari kian mengikis praktek mistifikasi kepada sang pemimpin. Dalam masyarakat yang modern mulai dikenal adanya spesialisasi kelembagaan yang lebih jauh lagi akan menuntut hadirnya para pakar. Selain daripada itu, dengan berkembangnya demokrasi dalam masyarakat, yang notabene telah melegalkan segala bentuk partisipasi kerakyatan dalam pemerintahan, telah menghapuskan tentang adanya batasan kepemimpinan. Legalnya partisipasi publik jelas meluruhkan adanya mitos takdir antara “sang pemimpin” dengan “yang dipimpin” karena masyarakat biasa pun kini dapat ikut andil dalam pemerintahan.
Tetapi perubahan sistem sosial dalam masyarakat telah berubah dengan mudahnya seperti itu? Saya rasa tentu tidak.
Meskipun dengan hadirnya proses demokrasi di era reformasi pasca-1998, demokratisasi terjebak dalam kolom demokrasi formal-elektoral semata. Dalam konteks demokrasi formal, masih banyak ditemukan masyarakat yang hingga kini mengandalkan peran dari kelembagaan untuk membuat sebuah kebijakan, seperti DPR maupun DPRD. Selain daripada itu, masyarakat Indonesia mengenal konsep demokrasi dengan bentuk pemilihan umum semata. Bahwa sesungguhnya, memang benar pemilihan umum merupakan aspek penting dari demokrasi, tetapi pemilihan umum bukanlah satu-satunya praktek demokrasi. Masih sering kita lihat, bahwa kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan masih terjadi. Justru apatisme dari masayarakat yang kian hari tidak percaya dengan pemerintahan justu lebih nampak dalam sistem sosial di Indonesia.
Sistem patrimonialisme sangat kerap hubungannya dengan sistem yang oligarkis, dimana kepentingan kelompok atau pun bentuk kepentingan kelompok yang terpusat pada pemimpin (dalam patrimonialisme) merupakan hal yang terpenting untuk terlaksana. Sehingga, dengan adanya sekat dimana masyarakat sipil tidak bisa secara langsung berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan justru mendukung untuk semakin berkembangnya konsep oligarkis, bahkan patrimonialisme. Karena dengan tidak mampunya masyarakat sipil untuk langsung berpartisipasi jelas memberikan ruang yang sangat luas bagi para politisi untuk bertindak atas kepentingannya sendiri. Bukankah pada zaman awal proklamasi Indonesia jirih payah proses memerdekakan bangsa ini terpusat pada kelompok tertentu saja? Lalu mengapa tindakan mereka tak oligarkis ataupun patrimonialis? Indonesia setelah generasi Soekarno-Hatta tidak lagi ditandai dengan kiprah negarawan-pemikir ataupun pemikir-negarawan, melainkan militer, birokrat, ataupun politisi karbitan. Akibatnya, Pancasila maupun UUD 1945 sering tidak konsisten dan tidak bermakna lagi. Para militer, birokrat maupun politisi karbitan sebegitu jauh menampilkan diri sebagai penguasa yang lebih berorientasi jangka pendek mengutamakan akumulasi kekuasaan dan kekayaan, seraya memberangus pemikiran kritis di kalangan masyarakat sipil.
Dengan berdasarkan penjelasan diatas dapat kita tarik suatu benang merah, bahwa sistem patrimonialisme di Indonesia hanya berubah atau bermanifestasi dalam bentuk yang berbeda tanpa adanya peluruhan yang masiv. Ketika sistem patrimonialisme sangat dituding bergejolak pada masa Orde Baru yang otokratis, kini dalam masa reformasi yang dibilang menjunjung tinggi demokrasi justru tetap menampakkan sifat oligarki dalam substansinya ketimbang demokrasi. Demokrasi hanya berjalan secara prosedural tanpa memikirkan aspek substansi yang ada. Masih terlihat, hingga sekarang para politisi bertindak demi perutnya sendiri hingga lupa atas janji yang telah mereka berikan. Presiden (pemimpin) pun hanya bergerak atas kepentingan kelompoknya sendiri. Secara jelas dalam masa pemerintahan Orde Baru bentuk patrimonialisme dibuktikan dengan tindakan Soeharto dalam penganak emasan badan militer, hingga terciptanya konsep dwifungsi ABRI. Lebih jauh lagi, dalam proses pemilihan umum Golkar selalu menjadi partai pemenang dengan memanipulasi bentuk sistem pemerintahan atau kepartaian yang ada. Meskipun corak patrimonialisme sangat ketara dalam pemerintahan Orde Baru, dalam pemerintahan pasca Orde Baru pun masih tampak juga kehadiran dari sistem patrimonialisme. Contohnya, dalam era presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam proses penarikan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tidak mendukung atas konsepsi tersebut berubah haluan menjadi oposisi. Hal tersebut tentu membuktikan terlaksananya sistem patrimonialisme dalam pemerintahan Indonesia kontemporer. Karena PKS, yang notabene merupakan client, tidak lagi mendukung proses politik yang dirangkul oleh sang patron yaitu presiden maupun kamu elit, sehingga PKS pun harus hengkang dalam aliansi kepartaian sang patron.
Dapat disimpulkan bahwa hingga kini bentuk patrimonialisme hanya bermani-festasi kedalam bentuk yang berbeda. Dengan masih adanya sekat yang memisahkan para masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan secara langsung dengan para politisi yang bekerja secara tertutup akan tetap menumbuhkan sistem patrimonialisme yang ada di pemerintahan Indonesia. Karena dengan adanya pemisah tersebut kepen-tingan kelompok dalam bentuk hubungan patron-client antara pemimpin dan elit menjadi susah untuk tidak terhindarkan.
————-
Crouch, Harold. 1979. Patrimonialism and Military Rule in Indonesia. Cambridge:Cambridge University Press.
Revida, Erika. 2005. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Scott, James. 1972. Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia. The American Political Science Review. Vol. 66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tanggapan codebreakers