Sabtu, 31 Maret 2012

Sains, Pengetahuan dan Tasawuf



NATURALISME

Satu masalah naturalisme muncul dari definisi kata "nature." Sekali kita mendefinisikan "nature" hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi "supranatural." Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual; istilah itu mencakup bukan hanya alam fisik tetapi juga alam intelektual dan moral. Kenyataan bahwa hukum alam spiritual tidak diketahui ialah karena kita selama berabad-abad tidak pernah peduli untuk mempelajarinya. Jika seseorang tinggal di dalam rumah yang mempunyai dua kamar tetapi ia selalu hanya berada di dalam kamar yang satu, tidak pernah menginjak kamar yang lain, bahkan menyangkal keberadaan kamar di sebelahnya, maka ia tidak akan mengetahui sesuatu pun tentang kamar di sebelahnya itu. Mengenai alam spiritual yang tidak muncul dalam panca indera kita: pernahkah kita mengukur listrik dengan penggaris; atau mengukur intensitas cahaya dengan sebuah jam? Segala sesuatu harus dipelajari dengan alat yang sesuai.


MENGKOSMOSKAN DUNIA

Mircea Eliade, ahli sejarah perbandingan agama, menarik perhatian kepada fakta bahwa semua orang mengkosmoskan dunia mereka; yaitu mereka menjadikannya terpahami dengan menggunakan agama atau mitos. Bidang yang dapat mereka jelaskan menjadi "kosmos"; apa yang ada di balik itu, bagi mereka adalah kekacauan, keadaan yang perlu ditakuti dan dihindari. Demikian pula, atheisme yang kompulsif telah mengkosmoskan dunianya, dan mencoba mempertahankan hasil pemikirannya. Di sini mereka tidak berbeda dari orang-orang religius yang berupaya untuk mempertahankan kosmos mereka dari disintegrasi ke dalam kekacauan. Kasus ini berlaku baik bagi atheisme maupun bagi agama, atau tepatnya sebagai suatu agama palsu, yang di dalamnya, suatu sistem keyakinan dibentuk dan dipertahankan. Keyakinan bahwa Allah itu tidak ada, sama kuatnya dengan keyakinan bahwa Allah itu ada. Ironinya, semua itu dilakukan dalam nama pikiran. Bryan S. Turner mendebat dalam pengantar Theories of Modernity and Postmodernity (1990), rasionalisasi dapat membuat dunia teratur dan aman, tetapi tak dapat membuatnya bermakna. Turner menarik perhatian pada "erosi makna" dan kebangkitan kebersahajaan yang mengikuti modernisasi, yang pada akhirnya mengarah kepada dunia yang dikendalikan oleh orang-orang tak berhati dan tak berjiwa. Pada awal abad ini, Max Weber mengumumkan "pembebasan dunia dari pandangan keliru" (entzauberung), yang hasilnya berupa hidup di dalam "sangkar besi." Reduksi dunia dan manusia menjadi benda yang hanya mungkin dalam dimensi pikiran, adalah bagaikan mematikan sirkit gambar dalam sebuah pesawat TV dan hanya mendengarkan suaranya saja. Rasionalisasi mungkin saja merupakan pengkosmosan dunia bagi kaum atheis, tetapi dengan kehilangan makna kehidupan. Baik dunia maupun kaum atheis menjadi lebih miskin. Alih-alih memperkaya dan membebaskan manusia, modernitas dan post-modernitas menenggelamkan mereka dalam permainan material, sambil memiskinkan mereka dengan menurunkan derajatnya. Karena itulah pikiran hanya merupakan langkah awal keluar dari harapan.


FILSAFAT

Meskipun "filsafat religius" atau bahkan "agama filosofis" itu ada, kita harus tahu bahwa filsafat dan agama, seperti filsafat dan sains, merupakan dua hal yang berbeda, terutama karena filsafat yang didefinisikan dan dipahami pada masa kini. Penekanan dalam filsafat adalah pada pikiran, pada intelek, dan pemahaman abstrak dari dunia tempat kita hidup. Agama adalah mengenai iman, cinta, keruhanian, dan lebih dari itu, mengalami, meskipun inipun tak dapat meninggalkan intelek. Memang boleh saja kita membuat filosofi tentang agama, namun harus dimengerti bahwa sampai titik tertentu, filsafat bukan lagi merupakan alat yang untuk menelaah agama. Masalah muncul ketika filsafat dipakai untuk menelaah agama di luar batas, misalnya jika dipakai untuk menggantikan pengalaman dengan peta dari pengalaman itu. Bali mungkin suatu tempat yang indah, tetapi peta Bali tidak dapat menggantikan keberadaan seseorang di sana. Pemakaian filsafat dalam atheisme kira-kira sbb. Dengan penekanan pada bahasa, (sering bernada tinggi) istilah-istilah digunakan untuk menjelaskan fenomena dengan cara yang sepenuhnya "rasional", sehingga terjadi reduksi yang bukan merupakan hasil dari alat itu. Dalam membahas masalah seperti iman yang multi-dimensi, ia cenderung ke arah kegelapan, atau malah tidak relevan. Bernard Shaw berkata: "Ketika agama dari akal atas diberikan kepada akal bawah, akal bawah tidak mampu mencernanya, ia malah menariknya ke tingkat di bawah dengan mengabaikannya." Ini berlaku baik bagi penentang maupun penganut agama. Akibat keraguan dalam pandangan atheis, para jenius mungkin menemukan dirinya sendiri sering tidak mampu mengutarakan pemikirannya dengan jelas kepada akal bawah. Namun pada saat lain, timbul kesan bahwa suatu kebingungan telah sengaja dimasukkan untuk menutupi fakta bahwa penulis adalah seperti kita juga, karena permasalahan kita tidak mau diperlakukan seperti itu dan apapun komentar kita, haruslah dikemukakan dengan gamblang dan sederhana. Seorang anak mungkin disuruh menyebar berita bahwa kaisar tidak mengenakan selembar pakaian pun. Seperti dalam sihir, pengucapan mantra-mantra diharapkan untuk menyingkirkan 'ruh-ruh' yang berlawanan dan membuat penonton percaya. Ini mirip dengan ritual pengusiran ruh yang jika berhasil akan membuat aman pahlawan pengkosmosan. Dalam kasus demikian, beberapa pembela atheisme suka mempertunjukkan tukang sihir yang merajut jala ilusi mata, suatu jala juga -sialnya- mereka sendiri jatuh sebagai korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tanggapan codebreakers