Kamis, 01 Maret 2012

HAMBURGER TUMBUH DI LABORATORIUM


DAGING ARTIFISIAL DIHASILKAN DARI SEL PUNCA SAPI.


Sepotong jaringan otot yang dihasilkan dalam cawan petri di Maastricht University.


 VANCOUVER, Menunya mungkin sederhana, cuma hamburger. Tapi hamburger yang akan diracik oleh Heston Blumenthal, chef bintang tiga Michelin yang terkenal dengan eksperimennya dalam menciptakan makanan, bukan sekadar daging cincang panggang yang diapit oleh potongan roti. Daging hamburger ini menjadi istimewa karena daging tersebut bukan berasal dari sapi, melainkan diproduksi oleh sebuah laboratorium di Maastricht University di Belanda. Untuk memproduksi hamburger yang seluruhnya menggunakan daging produksi laboratorium, dibutuhkan dana hingga US$ 330 ribu. Ketua proyek itu, Mark Post, ahli fisiologi di Maastricht University, menyatakan dana itu berasal dari investor yang tak mau disebutkan namanya.


Daging itu dibuat dari sel punca sapi yang dikembangkan dalam beberapa cawan petri. Agar kekenyalan otot “daging in vitro“ itu sama dengan daging sapi biasa, Post memberikan perlakuan khusus dengan menekan dan meregangkan jaringan otot yang tumbuh di atas velcro itu. velcro itu. Blumenthal, yang meyakini bahwa memasak adalah sains dan bukan sekadar seni, dianggap sebagai koki yang paling tepat untuk mengolah daging artifisial ini. Pemilik restoran The Fat Duck, yang pernah menciptakan bubur siput dan es krim dari telur dan bacon, diminta untuk memanggang daging cawan petri itu pada Oktober mendatang. “Hamburger pertama akan siap pada musim gugur nanti,“ kata Post dalam presentasinya di pertemuan tahunan American Association for the Advancement of Science di Vancouver, Kanada.


Post mengatakan tujuan akhir eksperimen ini adalah menghasilkan daging laboratorium secara massal serta menurunkan pembantaian ternak dan efek rumah kaca yang dihasilkan oleh peternak hewan potong. Data Perserikatan BangsaBangsa menunjukkan peternakan hewan potong mengambil lebih dari 30 persen lahan dunia. Permintaan daging global juga diperkirakan akan berlipat ganda pada empat dasawarsa mendatang. “Anda bisa menghitung sendiri bahwa kami butuh alternatif,“ kata Post. “Jika anda tidak melakukan sesuatu, daging akan menjadi makanan mewah dan amat sangat mahal.“ Hingga saat ini Post dan timnya telah membudidayakan beberapa potongan tipis otot sapi berwarna merah jambu sepanjang 2,5 sentimeter dengan ketebalan 0,5 milimeter. Dia harus menumbuhkan beberapa ribu potong otot lagi sebelum “daging in vitro“ itu siap dicampur dengan lemak binatang yang dengan lemak binatang yang juga dibuat di laboratorium.



Campuran daging dan lemak itu kemudian ditekan hingga menjadi gumpalan sebesar bola golf. Meski Blumenthal menya takan siap memasak daging laboratorium itu menjadi hamburger, jangan harap bisa menemukan burger istimewa itu dalam menu restoran makanan cepat saji ini dalam waktu dekat. Tim peneliti Maastricht University memperkirakan produksi massal daging itu membutuhkan waktu 10-20 tahun. Post memprediksi eksperimen itu membuka jalan bagi produk premium baru yang kelak mengisi rak di toko besar, bersebelahan dengan ayam organik dan sapi yang diberi pakan rumput. Post mengatakan, energi yang dibutuhkan untuk memproduksi daging artifisial 40 persen lebih rendah ketimbang siklus produksi daging normal.



artificial meat





Daging yang diproduksi di laboratorium ini juga membuka peluang beragam pilihan daging binatang eksotik untuk disajikan di meja makan. “Misalnya, kami bisa membuat daging panda, saya yakin kami bisa melakukannya,“ kata Post. Meski sejumlah perusahaan makanan besar tertarik oleh kemungkinan bahan pengganti daging, industri daging masih menunggu perkembangan daging artifisial ini. Namun ilmuwan yakin daging alternatif ini adalah jalan keluar dari permasalahan produksi ternak yang merusak lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan manusia.


“Peternakan hewan potong adalah bencana lingkungan terbesar saat ini,“ kata Patrick Brown, ahli biokimia di Stanford University School of Medicine di Amerika Serikat. Brown juga tengah mengerjakan proyek pengganti daging dan produk lainnya dengan menggunakan material tumbuhan. Rak yang ada di supermarket sebetulnya telah menyajikan daging tiruan bagi para vegetarian. Daging palsu itu diproduksi dengan menggunakan tahu, tempe, dan produk kedelai lain sebagai bahan dasar.


Dari Laboraturium ke meja makanPara ilmuwan menggunakan sel-sel binatang untuk menciptakan sejenis daging artifisial. Substansi yang disebut sebagai "daging in vitro" itu terbuat dari ribuan sel punca yang dilipatgandakan untuk menghasilkan secarik jaringan otot tanpa pernah meninggalkan laboratorium. GRAPHICNEWS

GUARDIAN | TELEGRAPH

Daging Tanpa Daging

Penggemar makanan berbahan daging tak perlu menunggu turunnya harga hamburger in vitro seharga US$ 330 ribu ini untuk sekadar mencicipi seperti apa rasa daging buatan itu. Peneliti dari Amerika Serikat mengaku bisa menciptakan produk berbahan dasar tumbuhan yang mampu menyaingi rasa dan harga produk daging dan susu. Daging dari tumbuhan ini diharapkan dapat memenuhi permintaan makanan berbahan daging yang diperkirakan akan meningkat pada 2050. Patrick Brown, ahli biologi molekuler di Stanford University, menyatakan makanan yang mampu meniru rasa, tekstur, dan nutrisi produk hewani itu akan siap pada akhir tahun ini.

“Kami mempunyai beberapa produk yang benar-benar hebat dan tidak bisa dibedakan dari produk berbasis hewani yang digantikannya, bahkan oleh pakar kuliner sekalipun,“ kata Brown. Brown mengawali eksperimennya beberapa tahun lalu ketika dia memutuskan untuk untuk memecahkan masalah yang diakibatkan oleh peternakan hewan potong. Dia menggambarkan peternakan sebagai teknologi kuno yang tidak efisien. Jika jumlah peternakan bisa dipangkas, berarti risiko penyakit hewan ternak yang menyebar ke manusia bisa dikurangi. Berkurangnya peternakan juga meminimalkan kebutuhan lahan untuk merumput, bahkan membantu dunia menghindari kekurangan pangan dengan menghemat bahan pangan yang biasanya digunakan sebagai pakan ternak.


“Kami dapat berbuat lebih banyak dengan mengubah material tumbuhan yang lestari, murah, dan berlimpah menjadi makanan padat nutrisi dan kaya protein yang enak dan murah,“ kata Brown. “Daripada berangan-angan menciptakan sumber energi terbarukan atau mobil yang bisa berlari ribuan mil per galon.“ Meski menggunakan pendekatan berbeda, Mark Post memuji pekerjaan Brown, yang menggunakan bahan dari tumbuhan. Ini merupakan solusi yang lebih efektif dari segi biaya daripada daging in vitro yang luar biasa mahal. “Kami sepakat, jika ada produk berbasis tumbuhan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia terhadap daging, baik rasa, tekstur maupun kandungan nutrisi, itu akan lebih disukai,“ kata Post. 


LIVESCIENCE




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tanggapan codebreakers