Senin, 09 April 2012

MEDIUM / BAHASA


"Kesempurnaan hanya bisa dipahami melalui evolusi"

Komunikasi antara manusia tidak/bukan diawali dalam bentuk (bahasa) verbal maupun tulisan. Bentuk pemahaman manusia yang pertama kali adalah bentuk pengamatan-penerjemahan obyek-obyek, fenomena-fenomena visual sebagaimana tampak gambar-gambar, pahatan-pahatan, atau bentuk-bentuk lain yang dibuat oleh manusia purba.

Fase penciptaan/pembentukan logos, yang selanjutnya digunakan sebagai medium komunikasi (bahasa-bahasa) isyarat, sebelum kemudian ditransformasikan kedalam bentuk verbal dan/atau tulisan. Proyeksi (logos) ego untuk membentuk sublimasi esensi ego, siklus subyek yang sekaligus menjadi obyek, awal yang sekaligus/adalah akhir – Yang Satu.

Keberadaan evolusi medium (komunikasi) manusia tersebut (sesungguhnya) secara eksplisit menegaskan; bahwa argumentasi hakekat `kesempurnaan' (Kausa Prima), selamanya adalah tidak akan pernah bisa terbantahkan:
"Kapan pertama kali kisah Adam dan Hawa (penjelaskan hubungan diantara Sang Pencipta dan ciptaannya) dijelaskan kepada umat manusia?"

Jika diasumsikan, kisah Adam dan Hawa sebagai penjelasan paling awal/pertama tentang penciptaan manusia, maka satu-satunya argumentasi yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan diatas adalah isi kisah itu sendiri:

jika hakekat manusia adalah berawal/berasal dari Tuhan, maka sepatutnya pulalah esensi-NYA telah dikenal/dijelaskan kepada manusia sejak awal kehidupan mereka didunia.

Pertanyaan krusial atas klausul tersebut adalah:

"Bagaimana Kausa Prima (harus) berkomunikasi atau menjelaskan esensi kesempurnaan kepada umat manusia sejak awal keberadaan mereka di dunia?"

Kembali pada uraian diatas, bahwa bentuk pemahaman dan medium komunikasi awal manusia adalah logos-logos (visual), dan bukan/tidak dalam bentuk bentuk verbal maupun tulisan. Hal tersebut dapat mengargumentasikan bahwa kisah "Adam dan Hawa" pun, sesungguhnya telah dijelaskan/dikenal sejak awal kehadiran manusia didunia, dalam bentuk "lain" (visual) sebelum bahasa verbal maupun tertulis/text dipahami oleh umat manusia. Bukankah bentuk-bentuk (pemujaan) animisme-dinamisme bisa dikatakan sebagai versi "perdana" kisah "Adam dan Hawa"? Kriteria apa yang dimiliki sebagian manusia untuk meng"kafir"kan mereka kecuali "atas nama ego"?

Pendekatan lain untuk menegaskan argumentasi diatas adalah sebagai berikut:

Jika diumpamakan, anda adalah Tuhan - yang sudah sempurna sejak awalnya, dan (hendak) mengungkapkan/menjelaskan esensi/eksistensi/manifestasi kesempurnaan tersebut kepada obyek/manusia yang tidak/belum memiliki/mengenal medium/bahasa apapun, kecuali obyek-obyek visual yang ditangkap oleh mata (manusia purba), sehingga sukar untuk dipahami/atau menimbulkan bias pemahaman. Apakah hal tersebut menjadikan anda menjadi tidak/kurang sempurna? Atau justru medium dan/atau obyek/manusia tersebut yang (sesungguhnya) terbatas/tidak sempurna untuk bisa memahami/menerjemahkan esensi/manifestasi kesempurnaan anda?

Bukankah (evolusi) medium-pemahaman manusia merupakan realitas ketidaksempurnaan yang sesungguhnya? Bahwa subyek `kesempurnaan' (yang paling/sudah sempurna) sekalipun akan membutuhkan waktu sebelum bisa dipahami secara "sempurna" atas hakekat keterbatasan medium yang dimiliki oleh si obyek? Bukankah sesungguhnya/selamanya adalah absurd untuk bisa mengingkari dan/atau meniadakan esensi kesempurnaan-NYA melalui medium-esensi kurang/tidak sempurna?

Uraian diatas sekaligus memunculkan pertanyaan-pertanyaan atas manifestasi kesempurnaan yang dijelaskan secara sederhana melalui bentuk verbal/tulisan "kisah Adam dan Hawa":

Apakah esensi/manifestasi Tuhan dalam kisah tersebut yang tidak/atau kurang sempurna, ataukah justru medium (lisan-tulisan) manusia (pada masanya) yang tidak/atau kurang sempurna untuk bisa mengungkapkan esensi kesempurnaan-NYA? Jika medium/bahasa (lisan-tulisan) manusia terbukti senantiasa mengalami perkembangan/kemajuan seiring perkembangan jaman, bukankah hal tersebut mengisyaratkan bahwa justru manifestasi "Tuhan" lah yang tampaknya harus menyesuaikan dengan bentuk ketidak/kekurangsempurnaan medium umat manusia (pada sebuah era) dan bukan berlaku sebaliknya? Bagaimana mungkin manusia bisa mengatakan bahwa esensi Tuhan (dalam kisah Adam dan Hawa) adalah tidak sempurna, ketika medium yang digunakan terbukti/disadari tidak/belum pernah sempurna (terus berevolusi/berkembang seiring evolusi pemahaman umat manusia)?

Bukankah hanya esensi Kausa Prima lah yang (sesungguhnya) merupakan kausa/aksioma bagi premis "sempurna" yang dipahami umat manusia hingga hari ini? Sebagaimana senantiasa dijelaskan telah sempurna sejak awalnya (entah darimana, mengapa, siapa dan/atau bagaimana) dan tidak pernah berlaku sebaliknya?

Medium (pemahaman ego) yang tidak/belum sempurna, atau esensi Sang Sempurna yang tidak/kurang sempurna? Bukankah penjelasan diatas menjelaskan bahwa selamanya (ego) manusia tidak akan pernah bisa membantah premis `kesempurnaan' Kausa Prima? Bukankah argumentasi esensi (Ego) Tuhan adalah sempurna sejak awal merupakan hal absolut yang selamanya tidak akan bisa terbantahkan?

Bukankah pemahaman-jawaban bagi bentuk-bentuk pernyataan-pertanyaan diatas merupakan "wajah" ego yang sesungguhnya? Bukankah evolusi ego merupakan realitas manifestasi "kesempurnaan" yang sesungguhnya? Bukankah ego merupakan esensi kesempurnaan manusia (dalam memahami esensi kesempurnaan-NYA)? Bukankah memahami esensi kesempurnaan ego adalah realitas/tujuan umat manusia yang sesungguhnya?

DUNIA

"Faktor diluar/selain ego"

Jika benar bahwa kebaikan-kejahatan bukan merupakan bentuk `ilusi' dualitas pemahaman ego manusia, (Malaikat adalah kebaikan dan Iblis adalah kejahatan), mengapa harus seekor ular dan bukan Iblis (sebagai Iblis) yang secara langsung merayu Hawa? Jika dualitas kebaikan-kejahatan bukan merupakan bentuk `ilusi' (keberadaan malaikat adalah membela manusia sementara Iblis menjatuhkan/menghianati manusia), lalu dimana peran Malaikat jika benar Iblis berperan sebagai seekor ular yang merayu Hawa?

Malaikat dan Iblis, merupakan proyeksi/sublimasi/manifestasi kesempurnaan Sang Sempurna, sedangkan Adam adalah ciptaan-NYA paling sempurna:

Bagaimana mungkin Iblis yang merupakan bagian proyeksi kesempurnaan Sang Sempurna mengkhianati/melakukan penipuan terhadap/kepada ciptaan-NYA paling sempurna? Bukankah hal tersebut sekaligus berarti mengingkari esensi kesempurnaan-NYA?

Apakah hal tersebut menjelaskan mengapa seekor ular, dan bukan Iblis yang secara langsung merayu Hawa? Apakah sublimasi seekor ular sebagai Iblis dan/atau sebaliknya merupakan bentuk `ilusi' dualitas pemahaman manusia?"

Dalam keseluruhan kisah, baik elemen/logos Malaikat maupun Iblis (sesungguhnya) tidak pernah berhubungan langsung dengan elemen Adam (kecuali `uneg-uneg/keluh-kesah' tanpa arti yang ditulis dalam kitab suci agama). Ular dan pohon menyimbolkan aspek kehidupan diluar/selain manusia: binatang dan tumbuhan. Analogi binatang dilogoskan oleh seekor ular, makhluk berbentuk `ganjil', tersembunyi, berbahaya/berbisa (dipandang sebagai "jahat" /sukar ditundukan oleh ego pada masanya), sedangkan tumbuhan, dilogoskan oleh (sebuah) pohon. Keduanya merupakan logos-logos universal yang dikenal oleh (hampir) seluruh umat manusia oleh karena tersebar/terdapat pada seluruh permukaan bumi (pada masa/awal/diverbal-tuliskannya kisah Adam dan Hawa).

Begitu pula ilustrasi surga/Taman eden - Analogi bagi/atas ekosistem/alam tempat tinggal manusia, yang secara garis besar diilustrasikan oleh keberadaan pohon-pohon yang berbuah, sungai-sungai yang mengalir, sebagaimana seluruh umat manusia membutuhkan air (minum) (yang sekaligus berarti mengenal premis `sungai'/sumber mata air), dan mengenal segala `kebaikan/manfaat' untuk bertempat tinggal didekat/sekitarnya (menghasilkan sumber makanan yang berlimpah)

EVOLUSI MANUSIA

"Dari kera, ke manusia" dan dari "Manusia", ke "Kera"

Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina (Qs, Al-A'raaf, 7/166)

"Konon Tuhan menciptakan Malaikat dari cahaya dan Iblis dari api, kemudian Tuhan mengambil segumpal tanah/air dan meniupnya sehingga terciptalah Adam. Tuhan memerintahkan Iblis dan Malaikat untuk bersujud kepada Adam (Manusia)– ciptaannya paling sempurna. Para malaikat tunduk pada perintah Sang Sempurna sementara Iblis menolak untuk merendahkan dirinya. Tuhan menjadikan Iblis penghuni neraka.

Kisah diatas diawali oleh bentuk analog, yaitu proyeksi logos Tuhan kedalam bentuk logos-logos/elemen-elemen Malaikat dan Iblis, yang diikuti oleh bentuk monolog Tuhan atas/kepada Malaikat dan Iblis terhadap keberadaan Adam. Tuhan tidak berkomunikasi langsung dengan Adam dimana Adam memahami/menerjemahkan esensi kesempurnaan-NYA, melalui medium analog berikut monolog yang berlangsung diantara (logos) Tuhan dengan (logos-logos) Malaikat dan Iblis. Fase (analog-monolog Tuhan) tersebut bahkan masih berlangsung setelah terciptanya elemen Hawa. Kecuali Tuhan, tidak satupun elemen dalam kisah yang pernah melakukan komunikasi/berhubungan langsung satu sama lain, tanpa terkecuali Adam dengan Hawa.

Kejadian pertama komunikasi/hubungan langsung kepada/terhadap Adam dan Hawa baru terjadi ketika Tuhan memberi perintah/larangan bagi mereka untuk tidak memetik/memakan buah terlarang. Mengacu pada uraian sebelumnya, bentuk simbolis "perintah" Tuhan senantiasa berlaku sebagai kausa sinergi, sebagaimana perintah bersujud kepada Malaikat dan Iblis (terhadap Adam) berkonsekwensi pada/menciptakan `ilusi' pemahaman dualitas (sinergi kebaikan-kejahatan), demikian pula perintah/larangan Tuhan kepada Adam dan Hawa yang berkonsekwensi pada/menciptakan kehidupan (sinergi (individual) ego-ego).

"Untuk melengkapi kesempurnaannya diciptakanlah Hawa dari (tulang rusuk) Adam. Oleh bujukan seekor ular pada sebuah pohon, Hawa meminta/membujuk Adam untuk memetik dan bersama-sama memakan buah terlarang/melanggar perintah Tuhan. Seketika itu juga mereka malu atas tubuh (telanjang) mereka dan (berusaha) menutupinya dengan dedaunan. Adam dan hawa diturunkan kedunia…"

Fenomena menarik yang yang patut dicermati dari penggalan kisah diatas ialah; adalah seekor ular pada sebuah pohon dan bukan Iblis (sebagaimana `Iblis' yang dipahami melalui `ilusi' dualitas kebaikan-kejahatan) yang pertama kali `berdialog' (berbicara/berkomunikasi) secara langsung dengan Hawa melalui bentuk rayuan/bujukan/permintaan (bukan bentuk `perintah' (sebagaimana dilakukan oleh Tuhan) yang membuat Hawa untuk pertama kali `berdialog' (berbicara/berkomunikasi) dengan Adam dalam bentuk yang sama (rayuan/bujukan/permintaan).

Kronologi kisah diatas menjelaskan evolusi (pemahaman) manusia:

"Konon Tuhan menciptakan Malaikat dari cahaya dan Iblis dari api,…"

1. Fase analog Tuhan, secara implisit mengilustrasikan fase awal dimana ego hanya mengenal dirinya, dan/atau berusaha memproyeksikan esensinya melalui `visualisasi' logos-logos dunia. Secara garis besar, interaksi ego lainnya hanya digerakkan oleh faktor insting (manusia kera).

"Tuhan memerintahkan Iblis dan Malaikat untuk bersujud kepada Adam (Manusia)– ciptaannya paling sempurna."

2. Fase monolog Tuhan, secara implisit mengilustrasikan fase dimana ego berusaha untuk menyublimasikan logos-logos (visual) tersebut untuk membentuk/menjelaskan/menciptakan esensi dirinya kedalam bentuk/logos "manusia", sebagaimana Tuhan melalui proyeksi logos-logos-NYA menciptakan, membentuk, dan/atau menjelaskan esensinya kepada "Adam" – Dualitas sempurna (Manusia Purba).

"Untuk melengkapi kesempurnaannya diciptakanlah Hawa dari (tulang rusuk) Adam. Oleh bujukan seekor ular pada sebuah pohon, Hawa meminta/membujuk Adam untuk memetik dan bersama-sama memakan buah terlarang/melanggar perintah Tuhan."

3. Fase dialog Hawa dengan seekor ular, yang diikuti dengan dialog kepada Adam, secara implisit mengilustrasikan fase awal pemahaman ego atas keberadaan "manusia" lain (Hawa) pada alam/dunia (seekor ular, pada sebuah pohon, di Taman Eden/Surga), yang sekaligus menjadi kausa bagi medium komunikasi "manusia" dengan "manusia(-manusia)" lain (Adam dan Hawa / Manusia Modern).

EVOLUSI MEDIUM/BAHASA
"Alam/dunia adalah (kausa) bahasa"

Fase analog Tuhan (bentuk `logos'), secara implisit mengilustrasikan fase awal komunikasi umat manusia yang juga berbentuk analog seperti yang tampak pada penciptaan logos-logos (visual), peninggalan-peninggalan gambar-gambar/pahatan-pahatan pada gua-gua prasejarah manusia purba.

Fase monolog (bentuk `perintah') Tuhan, secara implisit mengilustrasikan fase kedua komunikasi umat manusia yang berbentuk monolog, dimana ego berusaha menjelaskan esensinya melalui logos-logos visual dalam bentuk (bahasa/medium) isyarat-isyarat kepada elemen-elemen alam/dunia/manusia yang lain.

Fase dialog (bentuk `bujukan') seekor ular kepada Hawa, yang diikuti dengan dialog kepada Adam, secara implisit mengilustrasikan fase lanjut komunikasi manusia dalam bentuk verbal antara ego dengan dunia/manusia lain, yang diilhami/diawali oleh keberadaan elemen-elemen (makluk hidup lain) pada alam/dunia (manusia dalam kronologi cerita hanya terdiri atas 2 elemen Adam dan Hawa, sehingga awal komunikasi (`verbal') mereka sekaligus adalah simbol bagi komunikasi awal antara manusia secara keseluruhan/universal). Alam/dunia merupakan realitas/kausa medium komunikasi manusia yang sesungguhnya.

ESENSI BAHASA

"Medium adalah realitas ketidak sempurnaan yang sesungguhnya"


 

Bentuk simbolis "rayuan/bujukan/permintaan" seekor ular (pada sebuah pohon di Taman Eden/Surga) kembali menegaskan hakekat dasar Adam maupun Hawa/individu-individu manusia yang memiliki kebebasan untuk memilih - dalam pengimplementasian tindakan atas/terhadap medium/bahasa (sebagai faktor ketidak-sempurnaan) yang diilhami/diawali oleh logos-logos/faktor-faktor/fenomena-fenomena yang terdapat pada alam/dunia (seekor ular, pada sebuah pohon, diTaman Eden/Surga).

Klik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tanggapan codebreakers