Minggu, 08 April 2012

KAUSA SINERGI


"Sinergi adalah bentuk kesempurnaan"

Synergy
Paradoks sempurna, akan senantiasa menjelaskan bahwa segala fenomena terjadi atas kehendak-NYA atau merupakan bentuk/manifestasi kesempurnaan-NYA. Dualitas sempurna, akan senantiasa menjelaskan esensi kesempurnaan Pencipta dan ciptaannya Yang Satu. Hakekat kisah Adam dan Hawa adalah berasal dari Tuhan, dan/atau menjelaskan esensi kesempurnaan Tuhan. Berawal dari Sang Sempurna dan/untuk kembali kepada Sang Sempurna – Sinergi Sempurna - Yang Satu. Sinergi merupakan realitas (bentuk/manifestasi) Kesempurnaan yang sesungguhnya.

Esensi kesempurnaan kisah Adam dan Hawa tidak terletak pada satu, atau lebih manifestasi-manifestasi logos-logos maupun kronologi-kronologi/kejadian-kejadian per penggalan-penggalan cerita, melainkan sinergi - Yang Satu atas/dalam keseluruhan cerita.

Pemahaman secara menyeluruh kisah Adam dan Hawa (sebagai satu sinergi) akan sekaligus bisa mengakhiri bentuk-bentuk paradoks manifestasi Tuhan, yang senantiasa bisa ditemukan dan/atau dikomparasikan atas/melalui pertautan dan/atau perbandingan satu atau lebih manifestasi kesempurnaan-NYA, per penggalan-penggalan/kronologi-kronologi/kejadian-kejadian cerita.

Secara tidak disadari, dogma-dogma/keyakinan-keyakinan yang dibentuk melalui pemahaman secara tidak menyeluruh atas kisah Adam dan Hawa, (sesungguhnya) sekaligus berkonotasi pada `Tuhan yang bodoh'.

"Jika benar bahwa hakekat/esensi kehidupan manusia adalah bentuk `hukuman' akibat kesalahan yang dilakukan oleh Adam dan Hawa, mengapa Tuhan sejak awal menciptakan Hawa (yang sekaligus dinubuatkan untuk menyempurnakan esensi Adam)? Bagaimana mungkin Sang Maha Mengetahui tidak tahu bahwa kelak Hawa akan membuat Adam melakukan pelanggaran atas larangan-NYA (sehingga dihukum/diturunkan kedunia)?

1. Tuhan memang cukup bodoh untuk tidak tahu.
2. Segala sesuatu terjadi atas kehendak-NYA; bahwa Adam dan Hawa (manusia) memang dikehendaki untuk `diturunkan' kedunia. Bahwa stigma `hukuman' atas esensi kehidupan merupakan bentuk `ilusi' pemahaman manusia atas manifestasi kesempurnaan-NYA.

Bagaimana mungkin Sang Maha Berkehendak tidak menghendaki Adam dan Hawa untuk melanggar larangannya (memakan buah terlarang)? Bagaimana mungkin Adam dan Hawa bisa melakukan sesuatu diluar kehendak Sang Maha Berkehendak? Bukankah hal tersebut menjelaskan bahwa Adam dan Hawa adalah sekaligus (Sang) Maha Berkehendak bagi/atas keberadaan mereka? Bukankah dualitas sempurna (Tuhan manusia-manusia Tuhan yang sama-sama (Maha) berkehendak) masih berlaku bahkan setelah terciptanya Hawa? Bukankah "kebebasan untuk memilih" merupakan hakekat dasar Adam dan Hawa? Hakekat dasar manusia? Bukankah `hukuman' merupakan bentuk `ilusi' atas keterbatasan pemahaman ego memahami esensi/manifestasi kesempurnaan-NYA - Yang Satu?

contoh konsep sinergi
Melalui bentuk pemahaman sinergi, akan tampak bahwa keterbatasan pemahaman manusia lah yang (sesungguhnya) menciptakan bias dalam menerjemahkan manifestasi kesempurnaan Tuhan. Contoh inkonsistensi bentuk pemahaman ego, manusia yang mutlak memisahkan esensi kesempurnaan dan ketidaksempurnaan atas esensi Tuhan dan manusia (pengingkaran bentuk dualitas sempurna) adalah sebagai berikut:

Kelompok-kelompok tertentu meyakini dogma yang menyebutkan, bahwa hidup adalah bentuk kutukan/hukuman atas kesalahan/pelanggaran yang dilakukan oleh Adam dan Hawa (manusia) terhadap Tuhan. Anehnya, kelompok-kelompok bersangkutan umumnya sekaligus sangat meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan. Manusia? atau kehendak Tuhan terhadap/kepada manusia yang salah?

Esensi kesempurnaan (Tuhan) selamanya tidak akan bisa dipahami melalui `ilusi' pemahaman dualitas yang secara mutlak memisahkan esensi kesempurnaan Sang Pencipta (yang sempurna) dan ciptaannya/manusia (yang tidak sempurna). Esensi kesempurnaan kisah Adam dan Hawa, tidak akan bisa dipahami melalui bentuk keterikatan pemahaman atas logos per logos dan/atau kejadian per kejadian, kecuali melalui bentuk pemahaman sinergi atas keseluruhan relasi-relasi logos-logos/elemen-elemen, kronologi-kronologi/kejadian-kejadian serta alur cerita - Yang Satu.

Kesempurnaan adalah hakekat Kausa Prima sementara kesempurnaan sinergi menjadi hakekat bagi/atas manusia (setelah terpecahnya ego tunggal/dual menjadi ego-ego yang lain/ego individu. Pemahaman sinergi, adalah pemahaman Sempurna.

MASKULINITAS

"Ego pria mengawali sinergi"

Mengapa (ego) manusia memahami Adam sebagai seorang pria sejak awal penciptaan?

Peradaban umat manusia diawali oleh bentuk dominasi/superioritas kaum pria/laki-laki terhadap kaum wanita. Kekuatan fisik kaum pria yang jauh lebih unggul dibanding kaum wanita, menjadi faktor utama bagi keberadaan proyeksi (ilusi) dualitas tinggi-rendah posisi ego (esensi dasar pemahaman pria), yang menempatkan posisi (ego) kaum wanita dibawah (ego) mereka. Dominasi tersebut sekaligus menjelaskan mengapa sejak awal Adam penciptaannya (Tuhan manusia-manusia Tuhan) dipahami/dilogoskan sebagai pria/laki-laki.

Peradaban umat manusia diawali/dibangun oleh `ilusi' pemahaman ego pria. Di masa lalu, kaum wanita/perempuan yang menempatkan egonya pada posisi lebih rendah terhadap kaum pria dipandang sebagai bentuk kebenaran/kebaikan (Malaikat yang bersujud terhadap Adam), sebaliknya kaum wanita yang mencoba menempatkan egonya pada posisi yang lebih tinggi dipandang sebagai bentuk kesalahan/kejahatan (Iblis yang meninggikan dirinya). Fenomena tersebut menjelaskan bahwa segala bentuk pemahaman dualitas seperti: kebenaran-kesalahan maupun kebaikan-kejahatan (sesungguhnya) merupakan bentuk-bentuk ilusi atas keterbatasan pemahaman ego atas esensi kesempurnaannya - Yang Satu.

Hasrat pria/laki-laki untuk menempatkan ego mereka pada posisi yang lebih tinggi atas/terhadap aspek-aspek selain dirinya/dunia/ego-ego yang lain, merupakan realitas yang sesungguhnya atas/bagi `ilusi' (nilai-nilai) kebenaran-kesalahan dan/atau kebaikan-kejahatan yang melandasi tindakan-tindakan umat manusia pada awal peradabannya.

Dominasi gender cara termudah bagi kaum pria untuk dapat memproyeksikan/memanifestasikan bentuk (pemahaman) ego mereka. Peperangan, penaklukan, perbudakan, penindasan dan/atau bentuk-bentuk persaingan lain merupakan fase lanjutan yang ditempuh dalam upaya memproyeksikan bentuk `ilusi' pemahaman tersebut. Tindakan-tindakan, yang dipandang/dianggap/diyakini sebagai bentuk kebaikan, kebenaran, dan sekaligus bentuk kesempurnaan bagi/atas eksistensi mereka.

Untuk memposisikan ego, manusia menggunakan kedua bentuk penalaran yang dimilikinya (akal-budi/IQ-EQ). Melalui IQ, ego meletakan dasar argumentasi kebenaran/kebaikannya atas unsur-unsur fisik/inderawi/material/akal seperti kecantikan, kecerdasan (otak), prestasi, kekuatan, kekayaan, ketangkasan dan lain-lain. Sementara melalui EQ yang ego meletakan dasar argumentasi kebenaran/kebaikan atas unsur-unsur metafisik/perasan seperti: agama, kepercayaan, kesaktian dan lain-lain.

Pada abad peperangan/penindasan/penaklukan, bernaung dibawah logos "manusia/Adam" ego berupaya menempatkan posisi mereka sebagaimana proyeksi logos Tuhan yang menghendaki Malaikat-Iblis/manusia lain untuk tunduk terhadap dirinya (logos manusia), dan (berusaha) mengenyahkan Iblis/manusia lain yang menolak untuk bersujud/tunduk kepada/terhadap(ego)nya/-NYA. Ego memandang mereka yang bersujud/tunduk/menuruti perintah/kemauannya sebagai kebaikan/kebenaran, dan sebaliknya mereka yang membangkang/menolak untuk tunduk sebagai bentuk kejahatan/kesalahan – Realitas peradaban umat manusia diawali dan diakhiri oleh keberadaan – Yang Satu – EGO – Kausa Prima.

Secara umum, ego akan berlaku/berposisi sebagaimana logos "Tuhan" ketika eksistensinya bisa/memungkinkan untuk berada pada posisi Yang Lebih Tinggi dari/atas ego-ego yang lain, dan sebaliknya berlaku sebagaimana logos "manusia" (yang membutuhkan perlindungan Tuhan) ketika berada pada posisi yang rendah – Realitas dualitas sempurna – Kebebasan untuk memilih – Tuhan-Manusia dan Manusia-Tuhan – Ego – Kausa - Yang Satu.

Apapun, bagaimanapun bentuk/manifestasi yang dipandang/dianggap/dipahami sebagai kebenaran dan/atau kebaikan oleh umat manusia, sesungguhnya/selamanya adalah bentuk `ilusi', sepanjang esensi tersebut secara sadar atau tidak sadar, (sesungguhnya) diproyeksikan oleh hasrat tinggi-rendah posisi(ego)nya.

REALITAS EGO

"Realitas ilusi, adalah sinergi ego"

Pertanyaan-pertanyaan berikut ini adalah mengenai konsep-konsep, aspek-aspek, tujuan-tujuan ideal yang melandasi peradaban umat manusia hingga hari ini; realitas (sesungguhnya)?, atau `ilusi' (dualitas) yang didasari oleh penempatkan tinggi-rendah posisi ego?

Konsep kesuksesan, realitas atau ilusi? Konsep kebahagiaan, realitas atau ilusi? Konsep kecerdasan, realitas atau ilusi? Konsep kecantikan, realitas atau ilusi?

Bagaimana mungkin manusia bisa mengetahui makna `sukses' tanpa keberadaan elemen-elemen/ego-ego yang tidak atau berada dibawah ego yang sukses? Bukankah "kesuksesan" merupakan bentuk `ilusi' atas keberadaan ego yang berada pada posisi lebih tinggi atas (ego) yang lain? Kebahagiaan, bagaimana seseorang bisa mengenal/tahu makna `kebahagiaan' tanpa keberadaan mereka yang tidak bahagia? Bukankah `bahagia' merupakan `ilusi' atas keberadaan elemen-elemen ego yang berada diatas yang lain? Dan seterusnya…

Konsep kebaikan, realitas atau ilusi? Konsep surga, realitas atau ilusi?

Bagaimana mungkin manusia bisa mengenal `kebaikan' tanpa keberadaan elemen/ego-ego yang `jahat'? Bagaimana mungkin manusia bisa mengenal/mengharapkan surga tanpa keberadaan elemen-elemen/ego-ego lain yang kelak/wajib masuk neraka? Itukah bentuk `kesenangan', `kebahagiaan' sejati? Melihat ego-ego yang lain `terjatuh' kedalam Api Neraka sementara `ego' kita berada pada posisi yang tinggi? Bukankah sangat naïf untuk mengingkari kenyataan tersebut? Begitukah bentuk/wujud manifestasi kesempurnaan Tuhan yang sesungguhnya? Bagaimana mungkin Sang Maha Pengasih sekaligus adalah Sang Maha Pendendam atas/bagi manusia `ciptaan'-NYA? Paradoks sempurna?

Bukankah penempatan-penempatan posisi ego merupakan realitas sesungguhnya bagi/atas `ilusi' konsep-konsep `ideal' bagi/dalam kehidupan manusia? Bukankah fenomena penempatan posisi-posisi ego atas ego yang lain sesungguhnya/selamanya akan membentuk siklus tanpa batas yang menciptakan ketidakpastian, kecemasan atas waktu, situasi, tempat yang berlaku pada/bagi peradaban umat manusia?

Bukankah sebagian besar konsep-konsep, `mitos-mitos': sukses, bahagia, cerdas, sehat dan lain-lain yang secara mudah bisa anda dapatkan pada buku-buku "chicken soup" (sesungguhnya) hanya akan membentuk stereotip ego yang selamanya akan berusaha `saling menginjak' satu dengan yang lain? Bukankah stereotip sedemikian rupa tidak akan pernah membawa umat manusia pada peradaban yang lebih baik kecuali bersiklus dan terus bersiklus dalam ketidakpastian penempatan posisi masing-masing ego?

Religion in the world (Semua dari Asal yang sama dan bagaimana kembali ketempat asal yang sama)
Apa esensi kebahagiaan, kesuksesan sejati? Bukankah sesuatu yang sepatutnya abadi dan tidak dilandasi `ilusi' rasa takut akan ketidakpastian? Mengapa manusia (modern) takut kepada waktu? Pada hari esok? Pada kematian? Bukankah semuanya bentuk `ilusi' akibat hasrat ego untuk mencapai tinggi-rendah posisinya? Bukankah atas sinergi yang diciptakan oleh ego sendiri? Bukankah pemahaman atas esensi kesempurnaan ego (sesungguhnya) hanya ditentukan/merupakan bentuk proyeksi/cerminan/refleksi atas keberadaan ego-ego yang lain? Bukankah rasa takut merupakan `ilusi' akibat keterbatasan ego memahami esensinya? Dualitas sempurna? Sinergi ego merupakan realitas sesungguhnya atas/bagi `ilusi' kecemasan dan/atau ketidakpastian manusia modern.

Tidak satupun hal terjadi atas unsur ketidak sengajaan. Esensi Tuhan adalah sempurna sejak awal-NYA dan esensi manusia adalah kembali kepada-NYA. Kebahagiaan sejati sekaligus puncak (kesempurnaan) evolusi ego hanya akan bisa di/tercapai melalui (keniscayaan) SINERGI SEMPURNA…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tanggapan codebreakers