"Kesempurnaan diawali oleh perspektif"
P: Mengapa Tuhan (sering dipahami) memihak Malaikat ketika ia sekaligus menciptakan Iblis?
J: Tanpa perspektif Tuhan segalanya adalah nihil.
"Beyond Good and Evil " (diantara/diatas kebaikan dan kejahatan) – Nietzsche
Sejak awal esensi Tuhan adalah ber-perspektif dan telah diuraikan secara sempurna dalam kisah penciptaan Adam. Munculnya pemahaman nihil atau tak bisa dipahami atas esensi Tuhan adalah bentuk `ilusi' atas keterikatan ego pada fase pemahaman trinitas. Manifestasi Tuhan yang tidak pernah tercantum atau digambarkan dalam kisah apapun-manapun-kapanpun. Perspektif (Tuhan) adalah hakekat dari (keberadaan) Ego dan manifestasi kesempurnaan Tuhan adalah Ego.
"Beyond Good and Evil is (God's) Perspective" – "Beyond Good and Evil is Ego*"
"Diantara/diatas kebaikan dan kejahatan adalah Ego" – Anti Nihilisme – Tuhan manusia dan manusia Tuhan.
*(ilusi dualitas akan menerjemahkan pernyataan diatas sebagai hal yang negatif)
"Elemen dualitas sempurna tidak berlawanan, melainkan bercermin"
Premis pencipta dan ciptaan adalah saling meniadakan, tidak ada pencipta tanpa ciptaan dan sebaliknya. Pencipta memerlukan ciptaannya sama halnya dengan ciptaan memerlukan penciptanya. Tuhan Butuh manusia dan Manusia butuh Tuhan. (Kisah Tuhan diperuntukan bagi manusia yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya ciptaan yang membuat kisah tersebut ada).
…Konon Tuhan memerintahkan Iblis dan Malaikat untuk bersujud kepada Adam (Manusia)– ciptaan paling sempurna. Malaikat tunduk pada perintah Sang Sempurna, sementara Iblis menolak untuk merendahkan dirinya. Tuhan menjadikan Iblis penghuni neraka…
Jika diuraikan secara kronologis, penggalan kisah diatas sesungguhnya merupakan ilustrasi atas/bagi penciptaan/keberadaan bentuk `ilusi' pemahaman manusia atas manifestasi/kehendak kesempurnaan Yang Satu. Malaikat dan Iblis merupakan logos-logos yang tidak berarti (nihil) sebelum mereka diperintahkan untuk bersujud kepada Adam. Tuhan tidak memerintahkan Adam untuk melakukan dan/atau memihak siapapun. Tuhan memerintahkan Malaikat dan Iblis untuk bersujud agar Adam bisa memahami esensi kesempurnaan-NYA.
Keberadaan (ilusi) dualitas kebaikan-kejahatan merupakan konsekwensi mutlak atas/bagi Sang Sempurna memanifestasikan/menunjukan kesempurnaan esensi/perspektif/Ego-NYA kepada/terhadap Adam. Keberadaan elemen Adam menjadi syarat bagi manifestasi/kesempurnaan/ esensi (Ego) Sang Sempurna. Esensi (Ego) Sang Sempurna menjadi cermin bagi kesempurnaan esensi (ego) Adam - Ego merupakan esensi kesempurnaan Tuhan dan manusia - Dualitas Sempurna*.
* Faktor esensial yang membedakan elemen Tuhan dengan Adam dalam dualitas sempurna adalah perintah untuk bersujud yang berawal dari Tuhan sebagai pelaku aktif kejadian, yang menjadikan Ego-NYA cermin bagi ego Adam sebagai pelaku pasif kejadian – KAUSA PRIMA yang mengawali SINERGI SEMPURNA
"Konon Tuhan menciptakan Malaikat dari cahaya dan Iblis dari api, kemudian Tuhan mengambil segumpal tanah/air dan meniupnya sehingga terciptalah Adam. Tuhan memerintahkan Iblis dan Malaikat untuk bersujud kepada Adam (Manusia)– ciptaannya paling sempurna. Para malaikat tunduk pada perintah Sang Sempurna sementara Iblis menolak untuk merendahkan dirinya. Tuhan menjadikan Iblis penghuni neraka".
Secara kronologis kisah diatas mengilustrasikan 3 tahapan evolusi (pemahaman) Ego:
1. POLITAS & MONOITAS
"Konon Tuhan menciptakan Malaikat dari cahaya dan Iblis dari api…"
2. DUALITAS
"Tuhan menciptakan Malaikat dari cahaya dan Iblis dari api, kemudian Tuhan mengambil segumpal tanah/air dan meniupnya sehingga terciptalah Adam…"
3. TRINITAS
"…Tuhan memerintahkan Iblis dan Malaikat untuk bersujud kepada ADAM (Adam)– ciptaannya paling sempurna. Para malaikat tunduk pada perintah Sang Sempurna, sementara Iblis menolak untuk merendahkan dirinya. Tuhan memerintahkan Iblis untuk menghuni neraka".
"Konon Tuhan menciptakan Malaikat dari cahaya dan Iblis dari api…"
Penggalan kisah diatas menjelaskan fase awal pemahaman ego atas logos-logos. Seperti dijelaskan sebelumnya, pencipta membutuhkan ciptaannya dan/atau sebaliknya dimana keberadaan elemen Malaikat dan Iblis adalah logos-logos berbeda namun tidak menjelaskan esensi apapun (logos tanpa arti) sebelum dimunculkannya `ilusi' dualitas kebaikan-kejahatan.
Penggalan kisah tersebut mengilustrasikan bentuk awal/dasar ego manusia, dimana manifestasi ego bukanlah sebagai pengamat (Adam) yang sedang memproyeksikan dirinya terhadap/melalui elemen Tuhan (elemen Adam belum menjadi bagian cerita), melainkan sebagaimana Kausa Prima atas/bagi logos-logos ciptaan-NYA yang sekaligus menjadikan eksistensi-NYA. PROYEKSI (eksternal) logos Tuhan adalah logos-logos Malaikat dan Iblis yang sekaligus membentuk pemahaman logos Tuhan sebagai SUBLIMASI (internal) logos-logos Malaikat dan Iblis. Induksi dan deduksi
Animisme dan dinamisme merupakan fase awal manusia menerjemahkan esensinya melalui alam. Keterbatasan pemahaman ego atas kesempurnaan esensinya lah yang sesungguhnya mengawali bentuk-bentuk pemujaan terhadap fenomena-fenomena alam. Ego membentuk proyeksi (eksternal) logos-logos yang digunakan untuk membentuk sublimasi (internal) "keyakinan" atas eksistensinya - sebagai faktor penyeimbang/pengisi keterbatasan pemahaman atas esensi kesempurnaannya.
POLITAS tampak dalam sejarah paganisme, dimana terjadi pemujaan terhadap benda-benda dan/atau fenomena-fenomena alam, penciptaan logos-logos dewa beserta mitos-mitosnya yang secara sederhana merupakan proyeksi bentuk-bentuk fisik, karakter-karakter maupun aspek-aspek lain yang senantiasa ditangkap oleh panca-indera manusia.
MONOITAS merupakan fase evolusi (pemahaman) yang selanjutnya, dimana ego mulai menyublimasikan esensinya sebagai Yang Satu sebagaimana elemen Tuhan dalam penggalan cerita. Pada fase ini ego menyublimasikan kembali proyeksi logos-logos yang sebelumnya telah diciptakan ke dalam/sebagai satu kesatuan logos ego itu sendiri. Fase tersebut mengawali keberadaan Firaun, Caesar, dan sosok-sosok lain yang diyakini sebagai manifestasi/titisan (kesempurnaan) Yang Satu atas/dari logos-logos/dewa-dewa/sembahan-sembahan mereka.
Masyarakat Mesir kuno tidak mengenal (dualitas) kebaikan-kejahatan, kecuali menerima secara penuh apapun yang dikehendaki oleh (logos) Firaun sebagai bentuk kesempurnaan bagi (hidup) mereka. Demikian pula pertunjukan Gladiator, manusia melawan singa maupun bentuk-bentuk kekerasan-kekejaman lain pada masanya yang senantiasa diterima masyarakat Romawi sebagai kehendak atau manifestasi (logos) Caesar yang sempurna.
Ego perlu melalui kedua fase tersebut untuk mencapai fase evolusi selanjutnya. Fase Monoitas mampu mengantarkan umat manusia pada peradaban yang maju dengan ciptaan-ciptaan maha karya, namun tidak dapat bertahan lama karena menyalahi hukum keberadaan ego sebagaimana proyeksi Adam terhadap Kausa Prima sebagai elemen dualitas sempurna.
Ego membangun sekaligus menghancurkan sendiri peradabannya. Sisa-sisa peninggalan Mesir Kuno, Inca maupun bentuk-bentuk peradaban lain yang seolah-olah lenyap ditelan Bumi merupakan penjelasan atas evolusi ego sebelum mengenal 'ilusi' dualitas kebaikan-kejahatan. Fenomena yang tidak bermakna (dualitas) positif-negatif, baik-buruk, melainkan jalan/tahapan/fase bagi ego menuju kesempurnaan (pemahaman)nya.
2. DUALITAS
Ego yang gagal menemukan kesempurnaan Yang Satu melalui/dalam logos dirinya, kemudian mencari kesempurnaan Yang Satu diluar dirinya. Dengan menempatkan esensi (kesempurnaan) Yang Satu diluar dirinya, ego mengalami fase dualitas sempurna yang berkonsekwensi pada keberadaan `ilusi' dualitas kebaikan dan kejahatan atau hukum peradaban manusia.
Secara simbolis elemen-elemen pada penggalan kisah diatas mengilustrasikan fase dualitas pemahaman ego dimana elemen Yang Satu/Tuhan adalah berada diluar Adam (proyeksi) dan berada diantara diantara 2 buah elemen/logos berbeda Malaikat dan Iblis yang (oleh ego) sekaligus diterjemahkan sebagai kebaikan dan kejahatan.
Pada fase ini ego baru bisa mengenali atau menerjemahkan kejadian-kejadian atau fenomena-fenomena melalui 2 buah elemen/logos berbeda yang saling bertentangan. Faktor inilah yang mendasari sublimasi elemen Tuhan dan Malaikat sebagai kesatuan logos untuk menerjemahkan kebaikan dan logos Iblis untuk kejahatan. Stigma/Kesan yang dimunculkan pada fase ini adalah Tuhan dan Malaikat (seolah-olah) sedang berperang melawan Iblis dan/atau berusaha memusnahkan kejahatan.
Elemen dualitas sempurna adalah bercermin, proyeksi yang muncul pada fase ini adalah logos-logos yang mewakili kebaikan dan kejahatan dalam bentuk-bentuk fisik/tubuh/logos manusia. Malaikat digambarkan sebagai manusia bersayap (bisa terbang), Iblis dalam bentuk manusia bertanduk , berekor dan/atau buruk rupa –secara sederhana keduanya (sesungguhnya) menyiratkan apa yang menjadi keinginan dan yang tidak diinginkan terjadi pada/oleh (manifestasi fisik) ego.
3. TRINITAS
…Tuhan memerintahkan Iblis dan Malaikat untuk bersujud kepada ADAM (Manusia)– ciptaannya paling sempurna. Para malaikat tunduk pada perintah Sang Sempurna, sementara Iblis menolak untuk merendahkan dirinya. Tuhan memerintahkan Iblis untuk menghuni neraka…
Elemen-elemen kisah diatas mengilustrasikan fase pemahaman trinitas, yaitu keberadaan elemen Tuhan yang berada diantara kebaikan-kejahatan yang tidak lagi sekedar dipahami dalam bentuk logos (Pemberi perintah yang mengawali dualitas kebaikan-kejahatan). Pada fase ini Ego mulai meninggalkan sebagian keterikatannya pada logos untuk memahami esensi kesempurnaan Yang Satu. Ego mulai memahami bahwa keberadaan logos Adam adalah (`diwajibkan' untuk) bercermin pada logos Tuhan yang membuatnya mempertanyakan/mencari misteri/esensi dibalik keberadaan (logos) Tuhan diantara dualitas kebaikan-kejahatan.
Mengapa Tuhan kerap dipahami sebagai "kebaikan" ketika simbol kebaikan itu sendiri telah diwakili oleh Malaikat? Bukankah sepatutnya Malaikat tidak memiliki kekurangan sedikitpun atas kebaikan oleh karena kebaikan merupakan esensinya? Mengapa Malaikat tidak lebih baik dari Tuhan? Mengapa Tuhan hanya mewakili kebaikan dan tidak mewakili kejahatan? Bukankah Tuhan juga yang menciptakan Iblis?
Banyak stigma beranggapan bahwa Tuhan menciptakan kejahatan. Hal yang patut digaris bawahi adalah:
TUHAN MENCIPTAKAN (LOGOS) IBLIS, NAMUN TIDAK PERNAH MENCIPTAKAN KEJAHATAN. KEBERADAAN MANUSIA (ADAM) LAH YANG MENGAWALI/MENCIPTAKAN (ILUSI*) KEJAHATAN.
Demikian pula dengan stigma beranggapan bahwa Tuhan menciptakan kebaikan:
TUHAN TIDAK (PERNAH) MENCIPTAKAN KEBAIKAN, TUHAN ADALAH KEBAIKAN ITU SENDIRI. TUHAN MENCIPTAKAN (LOGOS) MALAIKAT. KEBERADAAN ADAM-LAH YANG MENGAWALI/MENCIPTAKAN (ILUSI*) KEBAIKAN.
* Tidak diciptakan/tidak pernah ada.
ILUSI KEBAIKAN-KEJAHATAN
Sebelum Tuhan memerintahkan Malaikat dan Iblis untuk bersujud kepada Adam, keduanya merupakan logos-logos tanpa arti. Dualitas kebaikan-kejahatan bukanlah ciptaan Tuhan, melainkan (ilusi) atas keberadaan Adam (manusia)/proyeksi dualitas sempurna;
Apakah Tuhan (memang) menghendaki Iblis untuk bersujud atau (memang) menghendaki mereka untuk membangkang? Bagaimana mungkin Sang Maha Berkehendak gagal membuat Iblis untuk melakukan kehendak-NYA? Bukankah Ia adalah Maha Kuasa yang bisa melakukan apa saja? Bukankah mempercayai kesempurnaan-NYA adalah percaya bahwa Tuhan memang menghendaki Iblis untuk tidak bersujud? Bahwa apapun yang terjadi adalah atas kehendak-NYA?Jika manusia membenci Iblis (yang membangkang) bukankah itu berarti (sekaligus) membenci Kehendak-NYA? Membenci Tuhan? Bukankah perintah untuk bersujud tersebut memang ditujukan agar Adam memahami esensi Tuhan yang sebenarnya? Perspektif-NYA? Ego-NYA? Bukankah kebaikan-kejahatan merupakan `ilusi atas/bagi manifestasi kesempurnaan (esensi) Yang Satu?
Pemahaman trinitas menempatkan esensi kesempurnaan Yang Satu diantara faktor eksternal dan/atau internal ego (manusia). Transformasi/bentuk-bentuk pemahaman trinitas kerap disalahartikan/disalah pahami oleh sebagian kelompok masyarakat sebagai bentuk pengingkaran terhadap Tuhan, ketika bentuk fase pemahaman tersebut (sesungguhnya) hanya (berusaha) merekonstruksi/mendekonstruksi/meninggalkan dan/atau mempertanyakan esensi TUHAN (KESEMPURNAAN) yang di-LOGOS-kan oleh/pada fase pemahaman dualitas.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi yang pesat tidak terlepas dari evolusi ego atas fase pemahaman trinitas. Fase yang sekaligus mengawali penanggalan/pelucutan bentuk-bentuk pemujaan (sakralisasi) terhadap logos-logos/ritual-ritual lama yang dibentuk pada/oleh fase dualitas. Proyeksi atas logos Tuhan mulai digantikan dengan bentuk-bentuk ciptaan-ciptaan/materialisme dan/atau sistem-strata sosial untuk membentuk sublimasi "keyakinan" baru atas bentuk-bentuk penciptaan ego sendiri. Stigma umum yang terbentuk pada fase ini adalah; "tidak perlu beragama untuk mempercayai Tuhan/kesempurnaan atau, mempercayai Tuhan/kesempurnaan namun bukan agama, meninggalkan dan/atau melakukan ritual-ritual agama seperlunya, serta bersikap moderat terhadap semua agama/kepercayaan/keyakinan.
Pemahaman Trinitas menciptakan keberagaman pilihan serta kebebasan yang lebih luas bagi ego memaknai masing-masing esensinya. Meskipun demikian fase tersebut secara tidak langsung sekaligus mengarahkan ego kembali kepada bentuk pemujaan atas logos-logos/materialisme yang membawa ego pada kehampaan makna/ketidak bahagiaan. Sekilas dapat dilihat bahwa bentuk sublimasi keyakinan atas kesempurnaan ciptaan-ciptaan (materialisme-sistem) mengarah kembali fase Politas maupun Monoitas (paganisme/absolutisme), dengan faktor esesial yang membedakannya adalah; ego telah mengenal (ilusi) dualitas kebaikan-kejahatan yang sekaligus menjadikan fase ini bisa bertahan begitu lama.
Bentuk lain yang muncul pada fase ini adalah Ateisme. Ateisme sendiri (sesungguhnya) tidak pernah bermakna "tidak memiliki Tuhan" oleh karena (logos) "Ateis" sendiri merupakan aksioma atas keberadaan Tuhan yang dipertanyakan, sebelum kemudian ditanggalkan logos-NYA. Persepsi umum yang menganggap bidah atau mengingkari kesempurnaan Tuhan merupakan bentuk proyeksi (ilusi) ego yang masih terikat pada fase pemahaman dualitas dalam upayanya mempertahankan keberadaan faktor yang senantiasa dijadikan pembentuk sublimasi `keyakinan/iman', yaitu `logos' Tuhan yang disakralkan/tidak patut dipertanyakan. Mengacu pada uraian sebelumnya, esensi Tuhan adalah Ego, yang menjadikannya tidak akan pernah tiada dan/atau ditiadakan.
Namun, fenomena menarik yang paling layak dicermati akhir-akhir ini adalah munculnya para pemikir-pemikir eksistensialis dan/atau nihilis, yang tidak hanya sekedar berani untuk mempertanyakan esensi Tuhan, namun sekaligus mempertanyakan esensi/keberadaan dirinya, dan/atau tidak sekedar larut dalam peradaban yang mengarahkan mereka menuju kebutaan makna (Nietzsche telah `meramalkan' fenomena ini). Ego mulai mempertanyakan esensi /kesempurnaan ego itu sendiri - evolusi menuju kesempurnaan. Meskipun demikian, pemahaman tersebut barulah awal dari/bagi puncak kesempurnaan pemahaman yang sesungguhnya. Kekosongan/kehampaan makna hidup/esensi ego masih menjadi bagian besar ditengah beragam pencapaian pemikiran beserta gemerlap megah bentuk ciptaan-ciptaan peradaban.
Secara pribadi saya berani mengatakan bahwa kebanyakan individu yang menyatakan dirinya BAHAGIA adalah sedang berusaha mengelabui ego-nya, memproyeksikan `ilusi' rasa takut yang berlebihan, dan/atau bentuk luapan emosi kemuakan atas standarisasi/stereotipe kehidupannya – "Tidak ada kebenaran yang lebih jernih selain tatapan mata". Saya tidak mencerna keseluruhan pernyataan-pertanyaan diatas melalui kacamata (dualitas) positif-negatif, baik-buruk, kebaikan-kejahatan, benar-salah (oleh karena kesemuanya merupakan bentuk ilusi) kecuali jalan bagi ego menuju kesempurnaan-NYA.
Renungan (pandangan pribadi); Bahwa keberadaan setiap fenomena merupakan proyeksi (hologram) atas keterbatasan ego memahami kesempurnaan esensinya, dan pada titik tertentu proyeksi tersebut menyalahi hukum keberadaan, akan muncul sosok-sosok maupun fenomena-fenomena (alam) yang mengarahkan ego kembali menuju jalan kesempurnaan. Tidak satupun hal, kejadian/fenomena terjadi atas faktor ketidaksengajaan. Sejak awal esensi Tuhan adalah sempurna dan esensi manusia adalah kembali kepada-NYA – SINERGI SEMPURNA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar