"I need to believe in God because I was"
"Untuk melengkapi kesempurnaannya diciptakanlah Hawa dari (tulang rusuk) Adam".
Namun dogma yang kerap menyebutkan bahwa "Wanita tercipta dari tulang rusuk Pria" (sesungguhnya) merupakan bentuk pemahaman yang SALAH :
PADA AWAL PENCIPTAANNYA, (LOGOS) ADAM TIDAK LAH PERNAH DI SEBUTKAN/DINUBUATKAN SEBAGAIMANA PRIA/LAKI-LAKI. ESENSI ADAM SEBELUM PENCIPTAAN HAWA ADALAH MANIFESTASI TUNGGAL DUALITAS SEMPURNA MANUSIA TUHAN - TUHAN MANUSIA (TIDAK BERKELAMIN/MEMILIKI GENDER) - YANG SATU.
Sebelum penciptaan Hawa, manifestasi kesempurnaan ego adalah bentuk elemen tunggal pria–wanita/bukan pria-bukan wanita, sedangkan setelah penciptaan Hawa barulah manifestasi kesempurnaan ego berbentuk elemen dual pria dan wanita. Premis pria/laki-laki baru ada/merupakan bentuk aksioma atas penciptaan Hawa. Justifikasi (logos) Adam sebagai pria/laki-laki sebelum esensi/premis `pria/laki-laki' itu sendiri ada sekaligus menjelaskan bahwa keterikatan pemahaman manusia pada penafsiran/pemujaan terhadap logos (per logos) diatas kronologi kejadian yang (sesungguhnya) menjadikan dan/atau meniadakan logos itu sendiri.
Klik! |
Terciptanya Hawa dari tulang rusuk (bagian kecil dari keseluruhan tulang pembentuk tubuh Adam) merupakan bentuk analogi menyeluruh atas proporsi pembagian esensi tunggal Manusia Tuhan-Tuhan Manusia. Realitas yang diwakili oleh analogi tersebut adalah perbedaan kekuatan (fisik) antara pria dan wanita. Hawa memiliki sebagian kecil kekuatan fisik Adam; kaum pria/jantan (secara umum) memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan kaum wanita/betina (yang diilustrasikan berasal dari potongan kecil bagian tubuhnya).
Ego merupakan awal sekaligus akhir. Analogi yang mengilustrasikan proporsi pembagian elemen tunggal Adam (menjadi Adam dan Hawa), sesungguhnya/secara esensial sekaligus menjelaskan karakteristik ego manusia:
Jika perintah bersujud bagi Malaikat dan Iblis ditujukan untuk seluruh umat manusia, mengapa Tuhan memerintahkan Malaikat dan Iblis untuk bersujud hanya kepada Adam (sebelum kehadiran Hawa)? Mengapa perintah tersebut tidak justru dihadirkan (kelak) setelah terciptanya Hawa (Keberadaan 2 elemen yang mewakili umat manusia)?
Elemen Adam memiliki 2 esensi berbeda dalam kronologi cerita:
1. Sebagai elemen tunggal kesempurnaan/dualitas sempurna/Tuhan Manusia – Manusia Tuhan (esensi pada kronologi pertama/awal cerita)
2. Sebagai salah satu elemen pelengkap esensi dual kesempurnaan/sebagai logos bagi/atas pria/laki-laki (esensi pada kronologi kedua/akhir cerita).
Mengapa logos Adam (Manusia-Tuhan-Tuhan Manusia) adalah tetap sebagai Adam (Pria/laki-laki) pada dua kronologi kejadian yang berbeda?
Penempatan logos Adam dalam 2 kronologi kejadian yang berbeda, secara sederhana menjelaskan bahwa; (bentuk pemahaman ego) laki-laki adalah berbeda dengan (bentuk pemahaman ego) wanita. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, perintah bersujud Tuhan mengawali `ilusi' dualitas (kebaikan kejahatan) yang secara secara visual diilustrasikan melalui tinggi-rendah posisi logos Adam terhadap logos-logos Malaikat dan/atau Iblis.
Klik! |
Realitas kehidupan menjelaskan, sejak usia dini anak laki-laki akan cenderung memilih bentuk-bentuk permainan yang memiliki/mengandung unsur-unsur persaingan/kompetisi dalam hubungan sosial mereka seperti: adu kecepatan, kekuatan, ketangkasan, keterampilan video game dan/atau bentuk-bentuk perlombaan/permainan lain, yang (sesungguhnya) mencerminkan/memproyeksikan bentuk pemahaman/karakteristik/esensi (ego) mereka:
Pria/laki-laki memiliki hasrat yang besar untuk bisa menempatkan egonya pada posisi yang lebih tinggi terhadap/atas ego-ego yang lain, dan memahaminya sebagai manifestasi kesempurnaan atas/bagi esensi(ego)nya (sebagaimana kejadian yang dialami Adam terhadap proyeksi (visual) posisi-posisi Malaikat dan Iblis).
Anak perempuan/wanita (sesungguhnya) tidak memiliki ketertarikan untuk/dalam memakna unsur-unsur persaingan/kompetisi sebagai faktor terpenting yang mendasari hubungan sosial mereka. Mereka akan cenderung memilih bentuk-bentuk permainan yang mengandung unsur kebersamaan, harmonisasi seperti: permainan boneka, rumah tangga dan masak-memasak dan lain-lain, yang (sesungguhnya) mencerminkan/memproyeksikan karakteristik/esensi (ego) mereka:
Wanita/perempuan tidak memiliki hasrat yang besar (sebagaimana pria/laki-laki) untuk bisa menempatkan egonya pada posisi yang lebih tinggi terhadap/atas ego-ego yang lain (Sebagaimana Hawa tidak mengalami secara langsung proyeksi posisi Malaikat-Iblis terhadap dirinya).
Penciptaan Hawa dari tulang rusuk (sebagian kecil tulang pembentuk tubuh) Adam secara analogi menjelaskan fenomena diatas; bahwa Hawa/wanita hanya memiliki sebagian kecil/inferioritas keterikatan atas bentuk `ilusi' dualitas tinggi-rendah posisi ego yang dimiliki/dipahami oleh Adam/pria.
Rumus penciptaan manusia; Adam = Adam + Hawa secara sederhana juga mengilustrasikan dominasi/superioritas 2 logos kembar Adam, terhadap 1 logos (tunggal) Hawa, atas pemecahan/pembagian esensi tunggal elemen dualitas sempurna; kaum pria mendominasi keterikatan atas bentuk `ilusi' dualitas tinggi-rendah posisi ego dibandingkan dengan kaum wanita.
"Oleh bujukan seekor ular pada sebuah pohon, Hawa meminta Adam untuk memetik dan bersama-sama memakan buah terlarang/melanggar perintah Tuhan. Seketika itu juga mereka malu atas tubuh telanjang mereka dan berusaha menutupinya dengan dedaunan. Adam dan hawa diturunkan kedunia…"
Baik elemen tunggal Adam (Manusia Tuhan-Tuhan Manusia) maupun dual Adam dan Hawa (pria dan wanita) merupakan bentuk manifestasi kesempurnaan Yang Satu. Sebagai elemen dualitas sempurna, esensi Adam (sebagai kesempurnaan tunggal) merupakan proyeksi/cermin atas/bagi esensi Tuhan, sehingga nubuat penciptaan Hawa sebagai pelengkap/penyempurna Adam, adalah sekaligus bermakna melengkapi/menyempurnakan esensi/manifestasi Tuhan.
Bentuk manifestasi Hawa/wanita dalam menyempurnakan esensi Adam adalah dengan mengawali/memberi `kehidupan' manusia (didunia), sehingga mengingkari esensi kesempurnaan kehidupan adalah bermakna mengingkari manifestasi kesempurnaan Tuhan. Dogma/pandangan yang beranggapan bahwa Hawa/wanita lah yang menyebabkan Adam/pria melakukan `kesalahan' atau mendapatkan `hukuman' dari Tuhan (diturunkan kedunia), jelas merupakan paradoks atas/bagi manifestasi Tuhan sendiri yang sebelumnya telah/sekaligus menubuatkan bahwa penciptaan Hawa/wanita adalah untuk menyempurnakan esensi Adam/pria.
Bentuk-bentuk paradoks (manifestasi kesempurnaan Tuhan) akan senantiasa menjelaskan bahwa : keberadaan/penempatan setiap elemen-elemen dalam kronologi-kronologi kejadian kisah Adam dan Hawa/penciptaan manusia adalah terjadi atas kehendak-NYA, atau merupakan manifestasi kesempurnaan-NYA – Yang Satu.
Kronologi kejadian yang menempatkan elemen Hawa sebagai faktor esensial yang mengawali "kehidupan" manusia merupakan analogi bagi/atas kehidupan manusia yang berawal/dimunculkan dari (rahim) wanita (termasuk pria). Proses yang mengawali/mendasari (evolusi/siklus) terpecah/terbaginya esensi kesempurnaan dual ego (Adam dan Hawa), menjadi/atas ego-ego individual yang tak terbatas (umat manusia).
Proses perkembangbiakan, kelahiran dan kematian merupakan realitas sesungguhnya (ilusi) `hukuman' Tuhan terhadap manusia (Adam dan Hawa).
Dualitas adalah bentuk `ilusi' pemahaman ego. Sebagaimana dualitas kebaikan-kejahatan, konsep `kebenaran' pemahaman atas `kesalahan' yang dilakukan oleh Hawa dan Adam sehingga mendapatkan `hukuman' dari Tuhan pun (sesungguhnya) merupakan bentuk `ilusi' ego:
Bukankah (dogma awal) kaum pria yang beranggapan/menempatkan kaum Hawa/wanita sebagai pihak yang (paling) `bersalah' sehingga umat manusia `dihukum' untuk menjalani kehidupan merupakan bentuk pengingkaran terhadap `kehidupan' kaum pria yang/sehingga bisa mempersalahkan Hawa/wanita itu sendiri?
Mana yang terdahulu ayam atau telur? Bukankah awal adalah/sekaligus akhir - Yang Satu? Bukankah konsep `kebenaran' pemahaman (Adam/pria) atas `kesalahan' (Hawa/wanita) merupakan bentuk `ilusi' dualitas ego? Bukankah konsekwensi `hukuman' Tuhan juga merupakan bentuk `ilusi' ego? Bukankah `ilusi' dualitas kebenaran-kesalahan merupakan bentuk manifestasi kesempurnaan - Yang Satu? Bukankah tinggi-rendah posisi ego (kaum pria terhadap kaum wanita) merupakan realitas sesungguhnya atas/bagi keberadaan faham/dogma kebenaran-kesalahan yang dianut oleh umat manusia pada awal peradabannya?
Hasrat ego untuk berada pada posisi yang lebih tinggi atas/terhadap ego yang lain merupakan aksioma bagi/atas bentuk `ilusi' pemahaman dualitas manusia, sebagaimana diilustrasikan melalui keberadaan Adam yang menemukan kebaikan/kenyamanan/keamanan oleh posisi Malaikat yang bersujud/merendahkan dirinya, dan sebaliknya merasa terusik/terganggu/terancam oleh posisi Iblis yang meninggikan dirinya. Tinggi-rendah posisi ego merupakan realitas bagi/atas bentuk `ilusi' dualitas, sekaligus kausa bagi/atas evolusi pemahaman (ego) manusia.
Kausa Prima menciptakan Malaikat dan Iblis, elemen-elemen yang merupakan proyeksi sekaligus membentuk sublimasi pemahaman atas/bagi esensi kesempurnaan-NYA. Sebelum datang perintah bersujud terhadap Adam, tampak bahwa baik elemen Malaikat maupun Iblis berada pada posisi yang sama/sejajar/seimbang serta tidak memiliki makna apapun kecuali proyeksi logos-logos atas/dari kesempurnaan Yang Satu.
Benarkah perintah bersujud Tuhan mengkoreksi kesetaraan/kesejajaran/keseimbangan posisi keduanya? Benarkah Malaikat berada pada posisi yang lebih `tinggi' dibanding Iblis setelah datang perintah bersujud terhadap Adam? Benarkah Tuhan memerangi Iblis sebagaimana ilusi dualitas kebaikan-kejahatan? Sebuah paradoks, bagaimana mungkin Sang Pencipta memerangi/merendahkan satu sisi proyeksi/sublimasi kesempurnaan-NYA?
"Tuhan memerintahkan Iblis dan Malaikat untuk bersujud kepada ADAM (Manusia)– ciptaannya paling sempurna. Malaikat tunduk pada perintah Sang Sempurna, sementara Iblis menolak untuk merendahkan dirinya. Tuhan memerintahkan Iblis untuk menghuni neraka".
1. Berdasarkan pengamatan visual/ fisik/logos/akal; posisi Malaikat yang bersujud adalah lebih rendah, sedangkan Iblis (merasa) lebih tinggi (derajatnya) atas/terhadap posisi Adam.
2. Berdasarkan penalaran non-visual/non-fisik/perasaan, posisi Malaikat yang bersujud adalah lebih tinggi/mulia, jika dibandingkan Iblis yang lebih rendah/hina (derajatnya) - karena menolak perintah Tuhan.
Hal menarik yang perlu dicermati adalah; baik Malaikat maupun Iblis (sesungguhnya) sama-sama menempati posisi-posisi yang lebih tinggi maupun lebih rendah ketika pahami melalui 2 kerangka penalaran yang berbeda. Penggabungan kedua bentuk penalaran diatas akan menjelaskan bahwa manifestasi Kausa Prima adalah sebagaimana sebelum keberadaan Adam (tidak terjadi perubahan atas kesejajaran (tinggi-rendah) posisi antara elemen-elemen Malaikat-Iblis), yang sekaligus menegaskan bahwa dualitas tinggi-rendah merupakan bentuk `ilusi' atas keterbatasan pemahaman ego atas manifestasi kesempurnaan-NYA.
Kedua kerangka penalaran yang tersebut menjelaskan hakekat keberadaan akal dan budi manusia. Akal (pikiran) membentuk pemahaman (atas esensi kesempurnaan) yang didasari oleh manifestasi fisik/material/inderawi, sementara budi membentuk pemahaman yang didasari oleh manifestasi non-fisik/perasaan.
Keberimbangan/kesejajaran diantara elemen-elemen proyeksi/sublimasi Kausa Prima (Malaikat dan Iblis) merupakan realitas bagi/atas manifestasi kesempurnaan yang sesungguhnya. Keberimbangan/kesejajaran antara kecerdasan akal/otak/pikiran (IQ) dan kecerdasan perasaan/emosi (EQ) adalah realitas kesempurnaan pemahaman ego yang sesungguhnya – Kecerdasan Spiritual (SQ).
Pertanyaan yang menarik adalah; jika segala sesuatu sesungguhnya memang terjadi atas kehendak/manifestasi kesempurnaan-NYA, dimana segala bentuk dualitas (sesungguhnya) merupakan `ilusi' pemahaman atas/bagi manifestasi kesempurnaan-NYA, untuk apa kehidupan (manusia) diciptakan? Bukankah hal tersebut (seolah-olah) mengisyaratkan bahwa Tuhan `ingin' merasakan/mengalami fase-fase/tahapan-tahapan/evolusi/bentuk-bentuk/keberagaman/ perbedaan-perbedaan kehidupan melalui ciptaan-NYA yang paling sempurna (manusia)? Berawal dari Sang Sempurna dan/untuk menuju/kembali kepada Sang Sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar