Pandangan Descartes tentang tubuh mekanis seperti itu menjadi fondasi bagi ilmu kedokteran modern, dan terus berpengaruh sampai 300 tahun kemudian. Demikianlah selama ratusan tahun fokus ilmu kedokteran modern adalah mereparasi sebuah mesin fisik yang dikenal sebagai tubuh manusia.
Pikiran dan kesadaran manusia dipisahkan dari tubuhnya, dan tak diakui relevansinya dalam kesehatan. Perasaan, hasrat, jatuh cinta, saat-saat terpesona oleh sekuntum mawar atau sebuah wajah cantik, dianggap sebagai produk sampingan biokimiawi. Penyakit pun dilihat hanya sebagai produk sampingan dari molekul-molekul, rusaknya sebuah mekanika dalam tubuh laiknya rusaknya sebuah mesin arloji. Dalam alur logika ini, penyembuhan terhadap penyakit dilakukan dengan cara mengintervensi tubuh mekanik yang rusak. Jadi, misalnya, kalau kita mengetahui bagaimana bakteri bereproduksi, diasumsikan bahwa kita dapat menggunakan antibiotik untuk menghambat proses tersebut sehingga infeksinya hilang.
Harus diakui, model pendekatan biomedis semacam itu telah sangat berhasil menyingkirkan wabah penyakit tertentu, namun ternyata wabah penyakit lain meruyak menggantikannya. Kita memang terhindar dari ancaman polio, cacar air, dan malaria, namun lantas diserbu oleh sepasukan penyakit-penyakit ganas seperti stroke, kanker, kelainan degeneratif, AIDS, serta kecanduan obat-obatan dan alkohol. Dalam model kedokteran klinis semacam ini pula, sang dokter mendekati pasiennya bak seorang mekanik memperlakukan mesin kendaraan. David Simon, MD, dalam The Wisdom of Healing (Interaksara: 2006), bahkan mengibaratkan bahwa dalam model biomedis sang dokter mendekati pasiennya laiknya seorang polisi menginterogasi korban suatu kejahatan.
Alam Semesta di Dalam Tubuh Manusia |
Bila kita memandang tubuh sebagai struktur fisik yang tetap, bak sebongkah patung, atau sebuah jam, maka sungguh logis bila kita melakukan pembedahan untuk membuang bagianbagian yang rusak. Tetapi, bila kita memandang tubuh sebagai sebatang sungai atau hamparan jagat raya dengan jaringan inteligensi yang luar biasa, dapatlah kita membayangkan kemungkinan-kemungkinan kesembuhan yang baru dan berbeda sama sekali. Dari perspektif ini, kita bisa mempengaruhi kesehatan kita melalui makanan yang kita cerna, emosi-emosi dan geletar perasaan yang kita alami, keputusan dan sikap kita dalam merespons masalah, serta pola-pola dan melodi kehidupan kita sehari-hari.
Deepak Chopra, MD, dalam kajian menarik bertajuk Quantum Healing: Exploring the Frontiers of Mind/Body Medicine (Bantam Books:1989), melansir suatu penelitian spektakuler yang membuktikan bahwa sejumlah zat kimia, yang sebelumnya diyakini hanya dihasilkan di otak, ternyata dihasilkan pula oleh sel-sel di dalam kelenjar-kelenjar tubuh lainnya. Sehingga, inteligensi tak hanya dilokalisasi di saraf pusat, namun juga terdapat di keseluruhan jaringan tubuh. Jadi, organ seperti hati, perut, dan jantung juga memiliki inteligensinya sendiri. Dengan menguak kecerdasan misterius jagat raya tubuh ini, kita bisa memahami kenapa separut luka akibat tergores pisau bisa sembuh dengan sendirinya, dan bahkan telah banyak penyakit kanker yang sembuh secara tiba-tiba.
Menurut saya, munculnya pendekatan ilmu kedokteran pikiran-tubuh (mindbody) ini tidaklah mensubstitusi ilmu kedokteran biomedis, melainkan saling melengkapi. Visi baru ilmu kedokteran mutakhir haruslah menjadi perpaduan yang cantik dan harmonis antara ilmu kedokteran modern dan ilmu kedokteran tradisional yang bersumber dari pelbagai khazanah. Konsekuensinya, bagi para dokter yang terdidik dalam ilmu kedokteran biomedis, diperlukan kerendahan hati untuk menyerap wawasan-wawasan tua dari ilmu kedokteran tradisional. Sedangkan bagi para penyembuh tradisional, diperlukan keterbukaan terhadap perkembangan baru dalam ilmu kedokteran modern. Sekat-sekat ilmu dan pelbagai prasangka harus diterobos, agar manusia bisa diperlakukan secara lebih manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar