Rabu, 14 Maret 2012

Tubuh: Mesin atau Jagat Raya?


Di hadapan para pembuat mesin automat itu, Descartes terpukau. Baginya, dan juga bagi orang-orang sezamannya di abad ke-17, mesin hidup itu merupakan keajaiban baru: mesin mesin automat itu mampu bergerak sendiri seperti makhluk hidup, dengan keteraturan dan spontanitas yang menakjubkan.


Tak mengherankan bila Descartes pun lantas menulis dalam sebuah risalahnya: "Kita melihat arloji, air mancur buatan, jentera, dan mesin-mesin serupa lainnya, yang meskipun buatan manusia, mempunyai kekuatan untuk menggerakkan dirinya sendiri dengan bermacam-macam cara. Saya tidak melihat perbedaan antara mesin-mesin buatan manusia itu dan berbagai tubuh yang disusun alam sendiri." Lebih jauh lagi, Descartes menarik analogis itu kepada tubuh manusia, katanya: "Saya menganggap tubuh manusia sebagai mesin. Pikiran saya membandingkan seseorang yang sakit dan sebuah arloji yang kurang baik dengan konsep saya tentang seseorang yang sehat dan sebuah arloji yang baik."

Pandangan Descartes tentang tubuh mekanis seperti itu menjadi fondasi bagi ilmu kedokteran modern, dan terus berpengaruh sampai 300 tahun kemudian. Demikianlah selama ratusan tahun fokus ilmu kedokteran modern adalah mereparasi sebuah mesin fisik yang dikenal sebagai tubuh manusia.

Pikiran dan kesadaran manusia dipisahkan dari tubuhnya, dan tak diakui relevansinya dalam kesehatan. Perasaan, hasrat, jatuh cinta, saat-saat terpesona oleh sekuntum mawar atau sebuah wajah cantik, dianggap sebagai produk sampingan biokimiawi. Penyakit pun dilihat hanya sebagai produk sampingan dari molekul-molekul, rusaknya sebuah mekanika dalam tubuh laiknya rusaknya sebuah mesin arloji. Dalam alur logika ini, penyembuhan terhadap penyakit dilakukan dengan cara mengintervensi tubuh mekanik yang rusak. Jadi, misalnya, kalau kita mengetahui bagaimana bakteri bereproduksi, diasumsikan bahwa kita dapat menggunakan antibiotik untuk menghambat proses tersebut sehingga infeksinya hilang.

Harus diakui, model pendekatan biomedis semacam itu telah sangat berhasil menyingkirkan wabah penyakit tertentu, namun ternyata wabah penyakit lain meruyak menggantikannya. Kita memang terhindar dari ancaman polio, cacar air, dan malaria, namun lantas diserbu oleh sepasukan penyakit-penyakit ganas seperti stroke, kanker, kelainan degeneratif, AIDS, serta kecanduan obat-obatan dan alkohol. Dalam model kedokteran klinis semacam ini pula, sang dokter mendekati pasiennya bak seorang mekanik memperlakukan mesin kendaraan. David Simon, MD, dalam The Wisdom of Healing (Interaksara: 2006), bahkan mengibaratkan bahwa dalam model biomedis sang dokter mendekati pasiennya laiknya seorang polisi menginterogasi korban suatu kejahatan.


Untungnya, dalam beberapa dasawarsa belakangan ini terdapat perkembangan baru dalam dunia kedokteran, yakni tumbuhnya kesadaran akan pentingnya mendekati manusia secara menyeluruh. Timbul pula minat yang antusias terhadap model-model pendekatan tradisional seperti termaktub dalam Ayurveda, kitab I-Ching, dan lain-lain. Ilmu kedokteran Barat kini mulai mengakui bahwa kita harus juga merawat orangnya selain penyakitnya, bahwa kita harus mengenali sebab-sebab yang melandasi kesehatan yang buruk dan berusaha mengatasinya bahkan sebelum gejalanya timbul, bahwa nutrisi yang baik, olahraga yang tepat, kesetimbangan emosional, dan keheningan spiritual juga sama pentingnya bagi kesehatan sebagaimana obat-obatan dan pembedahan.

Alam Semesta di Dalam Tubuh Manusia
Telah datang masa ketika tubuh manusia tidak lagi dilihat sebagai mesin mekanik, melainkan sebuah organisme hidup yang memiliki arus gelombang kesadaran, bahkan kecerdasan. Pendekatan kedokteran mutakhir, yang disebut ilmu kedokteran tubuh-pikiran (mind body)--yang dipengaruhi pendekatan Ayurveda--menyatakan bahwa tubuh kita merupakan sungai atom, sementara otak merupakan sungai pikiran, dan keduanya disatukan oleh aliran sungai kecerdasan. Dalam tubuh manusia mengalir sungai inteligensi, sehingga, seperti arus sungai yang senantiasa berubah-ubah meskipun tampak sama, tubuh kita pun mengalami transformasi dan pembaharuan terus-menerus.

Bila kita memandang tubuh sebagai struktur fisik yang tetap, bak sebongkah patung, atau sebuah jam, maka sungguh logis bila kita melakukan pembedahan untuk membuang bagianbagian yang rusak. Tetapi, bila kita memandang tubuh sebagai sebatang sungai atau hamparan jagat raya dengan jaringan inteligensi yang luar biasa, dapatlah kita membayangkan kemungkinan-kemungkinan kesembuhan yang baru dan berbeda sama sekali. Dari perspektif ini, kita bisa mempengaruhi kesehatan kita melalui makanan yang kita cerna, emosi-emosi dan geletar perasaan yang kita alami, keputusan dan sikap kita dalam merespons masalah, serta pola-pola dan melodi kehidupan kita sehari-hari.


Pandanglah hamparan tubuh kita dengan saksama: seperti jagat raya, dalam satu waktu ia bisa mengkoordinasikan aktivitas yang hampir tak berhingga, dengan mengagumkan: kita makan, bernapas, bercengkerama, mencerna, membersihkan racun, melawan infeksi, memperbarui sel-sel, membuang limbah tubuh, dan pelbagai aktivitas lainnya.Setiap aktivitas organ tubuh saling berkorespondensi satu sama lain dalam membentuk jagat raya tubuh secara keseluruhan. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa tubuh kita adalah jagat raya alit yang menyerupai dan saling mempengaruhi dengan jagat raya besar di luarnya.

Deepak Chopra, MD, dalam kajian menarik bertajuk Quantum Healing: Exploring the Frontiers of Mind/Body Medicine (Bantam Books:1989), melansir suatu penelitian spektakuler yang membuktikan bahwa sejumlah zat kimia, yang sebelumnya diyakini hanya dihasilkan di otak, ternyata dihasilkan pula oleh sel-sel di dalam kelenjar-kelenjar tubuh lainnya. Sehingga, inteligensi tak hanya dilokalisasi di saraf pusat, namun juga terdapat di keseluruhan jaringan tubuh. Jadi, organ seperti hati, perut, dan jantung juga memiliki inteligensinya sendiri. Dengan menguak kecerdasan misterius jagat raya tubuh ini, kita bisa memahami kenapa separut luka akibat tergores pisau bisa sembuh dengan sendirinya, dan bahkan telah banyak penyakit kanker yang sembuh secara tiba-tiba.


Mendekati manusia secara holistik, berarti juga mengakui pentingnya dimensi kasih dalam perjumpaan antara pasien dan dokternya. Setiap dokter ada baiknya mengingat pesan Galen, seorang dokter paling awal dari Yunani kuno: "Di mana ada kasih, ada juga kasih kepada seni (penyembuhan sang dokter). Sebab, ada pasien yang, walaupun sadar bahwa kondisinya berbahaya, tetap saja pulih kesehatannya hanya dengan mengandalkan dirinya dengan kebaikan dan welas asih sang dokter."

Menurut saya, munculnya pendekatan ilmu kedokteran pikiran-tubuh (mindbody) ini tidaklah mensubstitusi ilmu kedokteran biomedis, melainkan saling melengkapi. Visi baru ilmu kedokteran mutakhir haruslah menjadi perpaduan yang cantik dan harmonis antara ilmu kedokteran modern dan ilmu kedokteran tradisional yang bersumber dari pelbagai khazanah. Konsekuensinya, bagi para dokter yang terdidik dalam ilmu kedokteran biomedis, diperlukan kerendahan hati untuk menyerap wawasan-wawasan tua dari ilmu kedokteran tradisional. Sedangkan bagi para penyembuh tradisional, diperlukan keterbukaan terhadap perkembangan baru dalam ilmu kedokteran modern. Sekat-sekat ilmu dan pelbagai prasangka harus diterobos, agar manusia bisa diperlakukan secara lebih manusiawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tanggapan codebreakers